TEMPO.CO, Jakarta - Selama beberapa hari, Bennaya Jonathan Raja Partogi Siagian "mondok" di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah, Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat pada awal Oktober 2022 lalu. Siswa beragama Katolik dari SMA Kolese Kanisius Jakarta itu mengikuti berbagai kegiatan santri di sana dari mulai meronda, berjaga-jaga di pesantren sekaligus membangunkan santri-santri lain untuk melaksanakan salat subuh.
“Kami di sana santai. Diterima dengan baik. Aturan memang tegas, tapi tidak menyeramkan. Mereka mengingatkan dengan penuh kelembutan,” katanya dilansir dari laman resmi nu.or.id pada Selasa, 1 November 2022.
Pengalaman itu memberikan kesan mendalam bagi Bennaya. Di sana, Bennaya juga berbincang mengenai banyak hal mulai dari dunia keseharian di pesantren hingga diskusi mengenai agama masing-masing.
Ketika malam, Bennaya melihat para santri mencuci baju dan menjemurnya. Beberapa di antara para santri juga masih tampak berdiskusi saling membicarakan atau mengoreksi hafalan pengajian yang telah mereka lakukan. Padahal waktu sudah menunjuk angka 2 pagi.
“Kami di sini ibadah minggu saja kadang masih tidur, bolos. Sementara teman-teman santri harus bangun subuh,” kata siswa kelas XII IPA itu.
Baca juga: Siswi Muslim Jadi Ketua Osis di SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng
Ignatius Bryan Chai siswa Kanisius yang juga "mondok" di pesantren tersebut mengatakan bermalam di pesantren merupakan pengalaman mendalam untuknya. Menurut dia, semua santri di sini baik dan menganggapnya sebagai saudara sendiri. Ketika santri meneriakan “Siapa kita?” para santri menjawab, “Nadwatul Ummah!” dan ketika nama “SMA Kanisius” disebutkan, mereka serentak menjawab, “Saudara kita!”. Meski beragama Katolik, Bryan dan Bennaya diterima baik dan dianggap saudara sendiri di pesantren tersebut.
Dalam bayangan awal, Bryan berpandangan bahwa para santri hanya fokus belajar agama setiap hari. Namun, ternyata mereka juga bersekolah sebagaimana dirinya bersekolah, dan mempelajari pengetahuan-pengetahuan umum. Dari belajar "mondok" tersebut juga meningkat rasa saling menghormati dan berujung pada saling mendukung satu sama lain. “Kita memang berbeda, tetapi kita bisa bekerja bersama untuk menyelesaikan masalah,” kata Bryan kelas XII IPA berusia 16 tahun itu.
Bennaya dan Bryan merupakan dua dari 20 siswa SMA Kolese Kanisius yang mengikuti program Eskursi di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat. Program tersebut merupakan kegiatan wajib bagi siswa kelas XII SMA Kolase Kanisius. Siswa kelas XII SMA Kanisius Jakarta ini tersebar di 12 pesantren, yakni (1) Nadwatul Ummah Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat; (2) Nur El-Falah Kubang Petir Serang, Banten; (3) Al-Marjan Lebak, Banten; (4) Modern Syahid Leuwiliang Bogor, Jawa Barat; (5) Cinta Rasul Bogor, Jawa Barat, (6) Al-Mizan Jatiwangi Majalengka, (7) Al-Ittifaq Ciwidey Bandung, (8) Al-Hikmah Kresek Tangerang, (9) Darul Arqam Garut, (10) Al-Furqan Garut, (11) Al-Furqan Singaparna Tasikmalaya, dan (12) At-Tajdid di Singaparna Tasikmalaya.
Humas Eskursi Kanisus Jacobus Hartono menyampaikan, bahwa keragaman merupakan kekuatan yang harus dibangun dan ditanamkan sejak dini. Perbedaan itu harus disadari bersama, tetapi tidak menutup untuk membangun kerja sama untuk memperkuat kesatuan bangsa.
Karenanya, ia sengaja menempatkan siswa-siswanya di pesantren-pesantren yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sebelum tinggal di pesantren, para siswa ini dibekali terlebih dahulu mengenai dunia pesantren dan kebangsaan dalam perspektif NU, Muhammadiyah, dan Katolik.
Program ini dilaksanakan agar siswanya dapat mengalami sendiri, merasakan sendiri, melihat sendiri, bukan katanya. “Anak kami kan beda. Yang ke pesantren, non-Muslim. Yang muslim kita bawa ke Seminari. Jadi, benar-benar beragam,” katanya.
Pengasuh Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Muhammad Faris El Haq Fuad Hasyim menyampaikan, bahwa penerimaan pesantren terhadap masyarakat non-Muslim karena teladan Rasulullah. Sebab, keberagaman merupakan fitrah. “Keberagaman itu fitrah basyariyah yang tidak akan mungkin pernah disingkirkan,” jelas dia.
Oleh karena itu, kehadiran siswa Kanisius bagi santri dapat memberikan pembelajaran untuk saling mengisi dalam proses berbangsa dan bernegara. “Kami saling mengisi untuk pembangunan. Kami memberikan pemahaman bahwa Rasulullah humanis,” ujarnya.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.