TEMPO.CO, Jakarta - Gerhana Bulan Total pada malam nanti, seperti halnya gerhana Bulan lainnya dan juga gerhana Matahari, adalah fenomena alam yang menarik untuk diamati dan dipelajari. Pada masa kini, fenomena gerhana bahkan berusaha diabadikan untuk mendapatkan hasil yang artistik.
Widya Sawitar, anggota Himpunan Astronomi Indonesia (HAI) dan Planetarium dan Observatorium Jakarta (POJ), membandingkannya dengan masa lalu. Dulu, menurut Widya, Bulan atau Matahari yang perlahan hilang malah membuat warga ketakutan. Tak heran hingga muncul berbagai mitos seputar gerhana.
Meski begitu, Widya juga mengatakan bahwa beragam mitos tentang gerhana yang dijumpai dalam budaya di seluruh dunia sangat menarik untuk disimak. "Sebagai pelestarian kekayaan khasanah budaya manusia,” katanya tertulis pada kumpulan sekilas info gerhana yang akan dibahas dalam sesi diskusi gelaran Planetarium dan Observatorium Jakarta, terangkai dengan pengamatan bersama Gerhana Bulan Total hari ini, Selasa 8 November 2022.
Di Tanah Air, di ranah Nusantara, Widya menerangkan, salah satu kisah fenomena gerhana adalah raksasa yang menelan Matahari atau Bulan yang disebabkan rasa dendamnya kepada Dewa Surya dan Dewa Chandra. Kepercayaan akan kisah ini lalu disertai adat kebiasaan memukul kentongan, bersembunyi di rumah, menutup rapat semua pintu dan jendela rumah, serta menutup sumur dan tempayan.
Sebagian lainnya memilih menyelam di sungai, memukul-mukul pohon kelapa, hingga perempuan hamil yang bersembunyi di bawah tempat tidur. “Hal ini sejatinya adalah cerminan adanya rasa ketakutan psikologis akibat kepercayaan terhadap mitos gerhana,” kata Widya.
Berikut ini adalah kisah itu yang selengkapnya, seperti yang dituturkan Widya Sawitar dan Ferry Simatupang dalam buku berjudul Stars of Asia terbitan 2009.
BATARA KALA / KALA RAHU (JAWA)
Kisah bermula dari tokoh Kala Rahu atau Rembu Culung, Wuluculung, salah satu raksasa yang membantu Batara Indra untuk mendapatkan Tirta Pawitra atau air kehidupan. Siapapun yang meminum Tirta Pawitra tidak akan mati dan memperoleh keabadian.
Kala Rahu berhasil mendapatkan Tirta Pawitra dan mengantarkan air tersebut kepada para dewa. Namun, Kala Rahu dilarang meminumnya.
Raksasa ini menyamar dan mencuri air itu dan membawanya terbang ke atas awan. Namun, posisinya diketahui oleh Batara Surya (Matahari, siang hari) dan Batara Candra (Bulan, malam hari) yang selanjutnya menginformasikan ke Batara Wisnu (Penjaga Kebijaksanaan).
Kala Rahu meminum air itu secepatnya karena ia tahu bahwa ia dikejar oleh Batara Wisnu. Sebelum benar-benar menelan air, lehernya berhasil dipotong dengan Cakra (Cakradeksana), senjata ampuh dari Batara Wisnu. Kepala Kala Rahu masih hidup karena sempat meminum air kehidupan yang dicurinya. Namun, tubuhnya yang belum sempat teraliri air tadi jatuh ke Bumi kemudian berubah menjadi lesung.
Raksasa Kala Rahu ingin membalas dendam kepada Batara Surya dan Batara Candra. Sebagai balas dendam, Kala Rahu terus berusaha mengejar dan memangsa Matahari atau Bulan. Tatkala berhasil, maka terjadilah gerhana.
Masyarakat yang ketakutan dalam menyikapi fenomena gerhana, tidak tahu apa yang terjadi, lalu memukul-mukul gong atau lesung, kentongan, pohon kelapa, dan lain-lain. Harapannya, untuk menakut-nakuti Sang Kala Rahu yang tidak bertubuh, yang mengakibatkan munculnya kembali Matahari atau Bulan.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.