TEMPO.CO, Jakarta - Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) meluncurkan hasil riset keamanan digital bagi kelompok rentan dan berisiko tinggi dengan judul “Sudah Rentan, Kurang Waspada Pula” secara daring, Jumat, 11 November 2022.
Ketua SAFFEnet, Damar Juniarto, mengatakan pihaknya tidak hanya berhenti pada persoalan tingginya serangan yang telah terjadi selama ini. "Tetapi bagaimana kita mengukur diri, masyarakat sipil apakah mampu menghadapi serangan-serangan tersebut dan kemudian dan bertahan terhadap gempuran tersebut,” ujarnya.
Ia berharap, hasil riset bisa berguna pada pengguna berisiko tinggi serta keseluruhan masyarakat sipil yang ada di Indonesia.
Anton Muhajir, koordinator riset, mengajak kelompok rentan dan berisiko tinggi meningkatkan kapasitas untuk menghadapi serangan digital. Upaya membentuk aliansi strategis dan memperkuat jaringan bisa menjadi teman yang membantu menghadapi berbagai kejadian.
“Isu keamanan digital baru di Indonesia. Maka, butuh kekuatan jejaring dan punya akses banyak bisa membantu jika terjadi sesuatu,” jelasnya.
Pada riset, kelompok yang dimaksud dibagi menjadi enam, yaitu penggiat yang menyuarakan kasus Papua, lingkungan, LGBTQ, jurnalis, demokrasi & HAM, dan perempuan.
SAFEnet melihat maraknya serangan digital ke kelompok masyarakat sipil tidak hanya pada mereka yang bekerja di isu antikorupsi, tapi hampir di semua isu yang terkait dengan hak asasi manusia.
Tahun ini per November, data SAFENet menunjukkan sekitar 260 insiden serangan digital. Untuk tahun 2020 sebanyak 147 kejadian dan 2021 sebanyak 193 serangan. “Data menunjukkan serangan makin banyak terutama terjadi kepada kelompok rentan dan beresiko tinggi,” jelasnya.
Riset dilakukan di Medan, Jakarta, Pontianak, Banjarmasin, Kendari, Mataram, Ambon, Papua dan Denpasar dengan metode diskusi kelompok, wawancara mendalam dan observasi.
Adanya momentum tertentu membuat serangan digital semakin banyak, seperti saat revisi UU KPK 2019, pengesahan UU Cipta Kerja 2020, tes wawasan kebangsaan 2021, wacana perpanjangan periode jabatan 2022, pride month dan pernyataan kontroversial tentang LGBTQ.
Anton menyatakan tahun ini serangan terbanyak terjadi pada bulan Oktober, yang menyasar kelompok jurnalis Narasi. SAFEnet memilih tidak menduga-duga mengenai pelaku serangan tersebut. “Dari para narasumber menduga terkait dengan state aktor, aparat. Kita tidak bisa membuktikan itu,” jelas Anton.
Ia juga memperlihatkan contoh serangan kepada tiap kelompok yang terbagi serangan halus dan kasar. “Papua dapat serangan paling lengkap,” jelas Anton.
Serangan halus yang ditujukan kepada pegiat kasus Papua tercatat ada trolling, sekstorsi, impersonasi dan intimidasi. Sedangkan bentuk secara kasar adalah DDos Attack, pemutusan kabel, robocall, zoom bombing hingga pencurian laptop. “Pemutusan kabel internet hal baru kami tahu dan pencurian laptop. Biasanya diputus di wilayah tertentu,” kata Anton.
Sedangkan serangan halus pada jurnalis berupa doxing dan trolling, secara kasar berupa DDos dan peretasan akun.
Trolling adalah komentar yang mendiskreditkan, menghina dan membabi buta. Sekstorsi adalah menerima telepon nomor tak dikenal, begitu diangkat, pemilik no telp adalah perempuan yang melakukan video call mesum dan divideokan.
Percakapan direkam oleh pelaku, dan kemudian menjadi alat untuk mengancam korban. Korban akan diancam dengan foto atau video dia. Sedangkan, DDos attack merupakan serangan terhadap website
Kasus Jurnalis Narasi
Laban Laisilla, dari Narasi, menceritakan kejadian menimpa tempatnya bekerja. Dia meyakini serangan dilakukan dengan sistematis, menyasar 37 orang Narasi. Terduga pelaku menggunakan alat yang hampir serupa dan waktu juga berdekatan semua.
“Kita tidak bisa menunjuk pada institusi tertentu. Saya punya kekhawatiran kita harus menyusun langkah bersama menghadapi yang begini. Ini adalah kejahatan besar yang harus kita hadapi bersama,” kata Laban.
Kasus yang menimpa jurnalis atau media memang sudah beberapa kali terjadi. Narasi sendiri tidak ragu meminta polisi mengungkap siapa pelaku peretasan ini. “Sudah beberapa kali kasus peretasan atau DDos yang dihadapi oleh media selalu mentok. Tirto dan Tempo mentok, dengan alasan tidak diberi akses. Narasi membuka akses seluas-luasnya,” kata Laban.
Ia juga menceritakan adanya serangan ke Batam News sehingga tidak beroperasi selama sepekan akibat serangan yang diduga akibat memberitakan tentang imigrasi dan bea cukai.
Serangan itu membuat Narasi sadar tidak memiliki standar keamanan digital yang mumpuni, dan kini berupaya menyusun SOP untuk setiap kru di perusahaan agar langkah ke depan lebih tertata rapi.
Baca:
Trending Warganet #BlokirKominfo, SAFENet: Masyarakat Kecewa
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.