TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan pegiat lingkungan dari Greenpeace, LBH Palangka Raya, Save Our Borneo dan Walhi Kalimantan Tengah menggelar spanduk bertulisan “Food Estate Feeding Climate Crisis!" di atas lahan proyek food estate garapan Kementerian Pertahanan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Mereka menyerukan kepada para pemimpin dunia di Konferensi Perubahan Iklim PBB COP27, maupun di KTT G20, untuk mengambil aksi nyata mengatasi krisis iklim dengan menghentikan deforestasi dan menyelamatkan hutan yang masih tersisa di Indonesia.
“Lokasi ini dulu adalah hutan yang lebat. Kini lebih dari 600 hektare telah dibabat dan diubah menjadi lahan singkong yang gagal,” kata Iqbal Damanik, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, di lokasi aksi dalam video yang diunggah di media sosial TikTok.
Baca juga:
Menteri Siti Nurbaya dan Presiden Jokowi Dipuji Soal Deforestasi Berkurang, Apa Kata Walhi?
Aksi itu dibuat pada Kamis 10 November 2022 atau lima hari sebelum Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berbicara dalam Global Food Security Forum di Bali dan mengklaim keberhasilan program food estate itu lewat produksi singkong 23 ton per hektare. Dalam forum itu pula Prabowo memamerkan produk olahan dari singkong, mulai dari tepung, pasta, mi instan, hingga minuman boba/bubble. Prabowo optimistis, singkong akan menjadi tanaman penyelamat dunia yang sedang terancam krisis pangan.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat menghadiri Global Food Security Forum di Bali, Minggu 13 November 2022. Dia membanggakan produk food estate singkong dan memamerkan aneka bahan makanan olahannya. ANTARA/HO-Tim Media Prabowo Subianto
Dalam aksinya, Iqbal dkk mengungkap fakta lain dari program lumbung pangan singkong yang dibanggakan calon presiden dalam beberapa pemilu itu. Dalam video ditunjukkan hamparan luas hutan yang sudah terpapas atau gundul. Apa yang terjadi, disebut Iqbal, adalah deforestasi. "Masyarakat kehilangan ruang hidupnya. Bibit lokal sulit ditemukan. Bahan pangan dan sumber pangan sudah lenyap dari tanah ini,” katanya sambil mengungkap laporan adanya afiliasi Prabowo terhadap yayasan yang menjadi pemegang saham utama dalam perusahaan pelaksana proyek food estate singkong tersebut.
Laporan yang dimaksud adalah yang terbaru dari Greenpeace berjudul 'Food Estate: Menanam Kehancuran Menuai Krisis Iklim'. Di dalamnya menyoroti bagaimana salah satu proyek strategis nasional pemerintahan Presiden Joko Widodo ini telah mengeksploitasi hutan dan lahan gambut yang sangat luas sehingga mengancam wilayah adat dan keanekaragaman hayati penting di Indonesia.
"Di seluruh wilayah yang direncanakan untuk food estate, diperkirakan sekitar tiga juta hektare hutan berpotensi hilang jika proyek ini dilanjutkan," bunyi siaran pers terpisah atas aksi yang sama. Selain itu, Greenpeace menambahkan, "Proyek ini menjadi ladang bagi oligarki untuk melegitimasi kepentingan elite penguasa dalam mempertahankan kontrol negara secara tidak resmi," .
Dalam laporan tersebut, Greenpeace mengulas sejumlah alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga Indonesia tanpa merusak hutan dan merusak iklim. Adapun sistem monokultur food estate dinilai tak hanya gagal menghasilkan singkong yang dijanjikan, tetapi juga meminggirkan kearifan dan pengetahuan masyarakat lokal. "Cara yang lebih baik dengan pertanian ekologis dan agroforestri tradisional, sehingga kita mempunyai solusi untuk krisis pangan sekaligus krisis iklim,” kata Syahrul Fitra, juru kampanye hutan Senior Greenpeace Indonesia.
Mengamini ucapan Syahrul, Direktur Save Our Borneo Muhamad Habibi mengungkapkan kalau masyarakat Dayak di Gunung Mas telah menggunakan lanskap hutan selama ribuan tahun untuk memproduksi dan mengumpulkan makanan secara berkelanjutan. Hutan juga merupakan penyimpan keanekaragaman hayati yang tak tergantikan, termasuk habitat orangutan Kalimantan. "Sekarang Kementerian Pertahanan telah menerobos masuk dengan tentara, dan membuka hutan untuk program Food Estate monokultur yang membawa bencana,” katanya dalam siaran pers yang sama.
Sedangkan Aryo Nugroho, Direktur LBH Palangka Raya, menekankan bahwa proyek food estate ini mengabaikan hak atas lingkungan hidup yang baik, serta tidak sejalan dengan upaya pemenuhan hak atas pangan. Belum lagi dampaknya yang berupa perluasan wilayah banjir di Kalimantan Tengah dalam beberapa tahun terakhir. Pembukaan hutan untuk proyek food estate disebut Aryo berpotensi memperluas risiko tersebut. "Pemerintah harus menghentikan proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah, dan memulihkan kerusakan lingkungan akibat pembukaan hutan untuk garapan tersebut,” katanya berseru.
Bayu Herinata, Direktur Walhi Kalimantan Tengah, menegaskan proyek food estate harus dihentikan. Dia mengingatkan pula sejarah proyek serupa yang gagal, yakni lahan gambut sejuta hektare di era Orde Baru. “Pemerintah harus berhenti menyuguhi rakyat dengan janji kosong pemenuhan pangan lewat food estate. Berikan hak atas tanah dan kembalikan urusan pangan kepada petani,” kata Bayu.