TEMPO.CO, Jakarta - Berdasarkan studi, orang yang percaya Covid-19 adalah hoax memiliki kecenderungan percaya segala teori konspirasi. Mereka meyakiniya sekalipun tidak ada bukti kuat yang berada di balik setiap teori itu.
Kathleen Hall Jamieson, peneliti sekaligus Direktur Annenberg Public Policy Center (APPC) di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, mengaku telah mewawancarai ulang individu dalam sebuah panel survei sebelum pandemi berlangsung. Hasilnya, dia dapat menentukan bentuk kepercayaan yang membuat beberapa orang di Amerika cenderung mewaspadai vaksin Covid-19.
“Kami menemukan bahwa memiliki pola pikir konspirasi memainkan peran penting,” ujarnya yang telah mempublikasikan temuan tersebut dalam Jurnal Nature terbit 3 November 2022.
Dan Romer, penulis utama laporan hasil studi itu, juga Direktur Penelitian di APPC, mengatakan bahwa penelitian untuk mengetahui apa yang dipikirkan orang yang percaya konspirasi penting untuk dilakukan. "Temuan ini menggambarkan pentingnya menemukan cara untuk melemahkan pola pikir konspirasi secara umum, dan konspirasi tentang masalah kesehatan secara khusus,” kata dia.
Sebelumnya, para peneliti itu mewawancarai ulang panel perwakilan nasional pada 2021 yang telah dibentuk pada 2018 untuk mempelajari sumber resistensi terhadap vaksinasi. Ada 3.000 orang dewasa AS yang sebelumnya diwawancarai, dan para peneliti dapat mewawancarai ulang 1.243 di antaranya pada Januari 2021.
Dari survei tersebut didapatkan hasil mengenai beberapa kemungkinan sumber keraguan sebelum pandemi. Keraguan ditemukan dalam kurangnya kepercayaan terhadap FDA dan CDC, penerimaan informasi yang salah tentang keamanan dan kemanjuran vaksin lain seperti vaksin MMR (campak, gondok, dan rubella), dan kecenderungan untuk percaya pada teori konspirasi yang menantang kredibilitas otoritas kesehatan dan pemerintah.
Ketiga faktor itu dimasukkan dalam model untuk memprediksi keragu-raguan vaksinasi Covid-19 pada 2021. Disebutkan dalam laporan hasil studi itu, kurangnya kepercayaan kepada otoritas kesehatan dan penerimaan informasi yang salah pada 2019 tak berperan signifikan ketimbang kecenderungan untuk percaya pada konspirasi.
Beberapa bentuk misinformasi baru tentang vaksin Covid-19 muncul pada 2020, seperti klaim bahwa vaksin mengubah DNA seseorang. Misinformasi itu terbukti lebih mudah diserap oleh mereka yang memiliki pola pikir konspirasi. "Orang-orang ini lebih cenderung mengintegrasikan misinformasi baru tentang vaksinasi Covid-19 dengan misinformasi lama tentang vaksinasi secara umum dan tentang vaksin spesifik seperti vaksin MMR dan flu," bunyi laporan.
Baca juga: Kenapa Bill Gates di Hoax Teori Konsporasi Covid-19? Ini Jawabnya
Survei menemukan bahwa sekitar 20 persen panel cenderung menerima teori konspirasi pada 2019 ketika pola pikir diukur lewat dua pertanyaan: apakah responden mempercayai teori konspirasi seperti fluoridasi pasokan air publik adalah rencana untuk membuang limbah berbahaya, dan serangan 9/11 direncanakan oleh pemerintah AS.
Pada 2021, ukuran berbeda digunakan untuk menanyakan tentang bentuk konspirasi yang lebih umum. Misalnya, apakah hidup kita dikendalikan oleh plot yang dibuat di tempat rahasia. Responden yang cenderung menerima rangkaian konspirasi pertama juga cenderung menerima konspirasi terakhir yang lebih umum, meskipun diukur dengan jarak dua tahun.
Faktor lain yang memprediksi kesediaan untuk vaksinasi Covid-19 adalah kekhawatiran tentang risiko tertular dan kesediaan untuk mengambil vaksin flu. Kedua prediktor juga dikaitkan secara negatif dengan pemikiran konspirasi dua tahun sebelumnya.
Para peneliti juga memeriksa perubahan pola pikir konspirasi dari 2019 hingga 2021. Mereka menemukan bahwa konflik politik yang melingkupi pandemi, seperti pada Partai Republik yang kontravaksinasi dan Demokrat yang pro terhadap vaksin, juga tampaknya meningkatkan penerimaan teori konspirasi di antara beberapa orang.
Secara khusus, Partai Republik dan mereka yang mengandalkan media konservatif seperti Fox News lebih cenderung menerima teori konspirasi pada 2021 daripada dua tahun sebelumnya. Hal sebaliknya juga terjadi pada Demokrat, yang lebih cenderung menggunakan media arus utama dan menjadi kurang bersedia untuk mendukung konspirasi.
Perbedaan lain dalam kecenderungan untuk menentang vaksinasi tampaknya berkurang selama pandemi. Misalnya, orang dewasa yang lebih tua cenderung tidak mempercayai informasi yang salah tentang vaksin pada 2021 dibandingkan 2019. Pergeseran serupa terjadi pada responden yang lebih berpendidikan dan berpenghasilan lebih tinggi.
“Implikasi utama dari temuan kami adalah bahwa upaya untuk mendorong penerimaan Vaksin Covid-19 akan bergantung tidak hanya pada penyediaan informasi tentang kemanjuran dan keamanannya dari sumber yang dianggap kredibel oleh audiens, tetapi juga pada peningkatan pengetahuan vaksinasi secara umum,” tutur Roman.
ZAHRANI JATI HIDAYAH (FUTURITY, NATURE)
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.