TEMPO.CO, Jakarta - Ai Dewi, merupakan guru madrasah yang mendedikasikan diri untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak dan masyarakat Badui di Lebak, Banten. Ia mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Masyarikul Huda Kampung Cicakal, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten.
Awal mula dia mengajar anak-anak Badui bermula dari sebuah informasi di tabloit yang menyebut adanya krisis pendidikan di lingkungan Suku Badui di Kabupaten Lebak. Ia pun tergerak untuk mengisi kekosongan guru di sana.
“Informasi dari seorang teman melalui tabloidnya itu sempat tidak saya hiraukan karena saya lagi mengisi kegiatan belajar mengajar. Tapi setelah saya renungkan, berarti di kalangan Suku Badui itu sudah ada pendidikan tetapi tidak ada gurunya,” ujar Ai Dewi dilansir dari laman nu.or.id pada Selasa, 22 November 2022.
Akhirnya, hati Ai tergerak untuk menjadi guru keliling bagi suku Badui. Ia berusaha mencari apa dan di mana Suku Badui tersebut. Upaya itu ia lakukan karena sebelumnya ia tidak familiar dengan suku di wilayah Provinsi Banten ini.
Ai akhirnya mengetahui keberadaaan mereka sesuai informasi yang sampai kepadanya yaitu di Kampung Cicakal Girang, di tengah hutan di Desa Kenekes. Ia mendapati sebuah sekolah yang memang bangunannya tidak layak. Kondisi ini diperparah karena tidak ada guru yang mengajar. “Ternyata memang ada, sekolahan, atapnya bocor, lantainya dari tanah merah, dan penyangganya cuma dari bambu saja. Letaknya dari jalan raya harus jalan sekitar 10 kilometer,” katanya.
Tantangan Hukum Adat Badui
Setelah terjun ke lapangan, ia mendapati suku Badui terbagi menjadi dua, Badui Dalam dan Badui Luar. Badui Luar, kata Ai, masih mudah dijangkau untuk melakukan pelayanan pendidikan walaupun dia tetap menghadapi tantangan karena hukum adat Badui tidak membolehkan pendidikan atau belajar baca, tulis, dan menghitung bagi warga dan anak-anaknya.
Baca juga: Rumah Baca Rusia di Perbatasan Malaysia-Indonesia
Meski begitu, tantangan hukum adat tersebut tidak menyurutkan niat Ai untuk mencerdaskan masyarakat dan anak-anak Badui. Dia bahkan sempat ditolak berkali-kali bahkan diusir karena dianggap telah menodai adat istiadat Badui. Namun, hal itu terus dilakukannya dengan semangat.
Ia bahkan berkeliling mengajar di 60 kampung Badui dengan menempuh jarak puluhan kilometer tanpa dibayar. Upaya sepenuh hati Ai Dewi bukan bermaksud untuk tidak menghiraukan hukum adat Suku Badui, namun peraturan adat tersebut berusaha ia sikapi dengan berbagai cara agar mereka tetap mau belajar. Di antaranya ia lakukan dengan sembunyi-sembunyi karena pendidikan formal di mata mereka melanggar hukum adat.
“Ini bukan semata keinginan dan hasrat hati saya pribadi, tetapi demi kepentingan bangsa juga agar mereka lebih cerdas,” tutur Ai Dewi.
Strategi Mengajar di Pedalaman Badui
Berbagai cara ia lakukan untuk menyikapi larangan adat tersebut. Strategi yang Ai terapkan dalam mendidik suku Badui justru berangkat dari larangan hukum adat tersebut. Ia berusaha mengalir mengikuti langkah dan aktivitas sehari-hari masyarakat Badui misalnya mengikuti layanan kesehatan posyandu atau menunggu warga Badui setelah mereka selesai mencari kayu bakar di hutan.
Ketika kegiatan posyandu, Ai memberikan pemahaman terkait imunisasi dengan menuliskan ejaan-ejaan yang ada di dalamnya.“Saya dan beberapa teman berusaha menyatu dengan mereka untuk mengajarkan baca dan tulis ketika mereka mendapat layanan kesehatan. Pertama ketika mereka mengisi KMS (kartu menuju sehat). Kami jelaskan ke mereka KMS itu apa dan bagaimana menuliskannya. Itu lebih bisa mereka terima,” terang Ai Dewi.
Dengan metode tersebut, kata Ai, mereka tidak merasa bahwa hal itu merupakan proses pendidikan yang selama ini dilarang oleh hukum adat mereka. Strategi ini dilakukan Ai Dewi sehingga masyarakat pun melek huruf dan bisa membaca. Setelah beberapa lama, warga pun menyadari keberadaaan layanan pendidikan yang dilakukan oleh Ai Dewi memberikan manfaat dengan memberikan pemahaman tulis dan baca secara tidak langsung.
Selain strategi menyatu dengan warga lewat sejumlah pelayanan, Ai Dewi juga memberikan layanan pendidikannya di pinggir-pinggir jalan ketika warga Badui melakukan aktivitas mencari kayu di tengah hutan. “Langkah awal saya mengajak dia untuk istirahat sejenak. Dalam istirahat itu kita belajar tulis dan membaca. Cara seperti itu juga lebih mereka terima karena tidak dilakukan secara formal,” terangnya.
Ai Dewi menyadari bahwa perjuangannya tidak akan maksimal ketika hanya memberikan layanan pendidikan di sektor formal tanpa memberikan perhatian di sektor nonformal. Di sektor yang merambah warga dan anak-anak putus sekolah, ia memberikan layanan khusus. Bahkan bisa dikatakan sepanjang hari ia habiskan waktu untuk mengajar.
Di sektor nonformal tersebut, ia bertekad memberantas buta huruf pada orang tua dan anak-anak putus sekolah. Baginya, mengajar adalah pengabdian yang akan ia jalani sampai kapan pun. Pemberantasan buta huruf juga ia berikan untuk bapak-bapak dan remaja putri yang belum merasakan pendidikan.
“Itu di luar Desa Kanekes yang jaraknya sekitar 2 kilometer, ada dua kelompok dan pembelajarannya malam. Saya berangkat setelah maghrib, pembelajaran dilaksanakan jam 7 malam hingga 11 malam. Saya sampai rumah jam 12 malam karena jaraknya jauh dan harus jalan kaki,” jelas Ai.
Untuk menunjang layanan pendidikan nonformal yang dilaksanakannya itu, Ai menyisihkan sebagian gajinya sebagai guru honorer untuk membeli perlengkapan belajar warga. Saat itu, ia mendapat honor Rp 550 ribu selama satu bulan. Rinciannya, Rp 400 ribu ia dapat dari mengajar di MI dan Rp150 ribu ia dapatkan dari mengajar di Madrasah Tsanawiyah.
“Tanpa menyediakan perlengkapan belajar, warga tidak mau belajar. Makanya kami harus menyediakan semuanya agar mereka mau belajar,” ucap Ai Dewi.
Menjadi guru honorer selama berpuluh-puluh tahun, Ai mengakui tidak dibayar karena memang pengabdiannya di kampung Badui atas keinginan pribadinya. Ia dibayar pertama kali pada 2006 ketika sudah masuk dana biaya operasional sekolah (BOS).
Bahkan saat perbekalan di sana habis, ia dan suaminya makan daun singkong. “Kami memakan daun singkong selama 10 hari saat itu,” ujar Ai.
Berkat perjuangannya, Ai mendapat penghargaan khusus dari Bupati Lebak Iti Octavia pada 2017 sebagai pegiat pendidikan daerah terpencil dan sejumlah penghargaan lainnya. Ai berharap apa yang dilakukannya bisa memberikan manfaat dan menurunkan angka buta huruf di sana
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.