TEMPO.CO, Jakarta - Dua minggu penuh Konferensi Perubahan Iklim PBB yang ke-27 atau COP27 telah berakhir pada Minggu 20 November 2022. Kebanyakan dari antara para ilmuwan iklim frustasi pada hasil-hasil yang disepakati yang dinilai minim ambisi untuk penghapusan bahan bakar fosil.
Dokumen ringkasan final COP27 setebal 10 halaman, yang disepakati pada 20 November, menyatakan bahwa pembatasan pemanasan global hanya sampai 1,5 derajat Celsius di atas suhu di masa pra-industri membutuhkan reduksi emisi gas rumah kaca yang cepat, dalam dan berkelanjutan pada 2030.
Tapi, seruan untuk menghapus penggunaan bahan bakar fosil--sebagai sumber emisi gas rumah kaca itu--dihadang oleh negara-negara penghasil minyak, dan sebagian delegasi berusaha menemukan alasan untuk tetap bergembira meski laju dekarbonisasi sangat lambat. Banyak yang menyalahkan krisis energi yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina sebagai sebab minimnya progres penghapusan bahan bakar fosil tersebut.
“Ini jelas sekali kalau jendela untuk 1,5 derajat Celsius itu menutup dengan cepat," kata Chukwumerije Okerere, yang studinya tentang cara negara-negara menangani iklim di Alex Ekwueme Federal University Ndufu-Alike, Nigeria. Menurut dia, sudah tidak mungkin lagi untuk menekan kenaikan suhu sebatas 1,5 derajat, "Kecuali ada penyedotan karbondioksida secara massif pada skala yang luar biasa."
Catatan rekor 45 ribu orang hadir di COP27 malah menuntun sebagian orang untuk mempertanyakan apakah format konferensi sudah cocok untuk penanganan sebuah kedaruratan di Bumi. "Negosiasi-negosiasi yang terjadi benar-benar tak menggambarkan realitas," kata Sunita Narain, Direktur Jenderal Pusat Sains dan Lingkungan, sebuah organisasi riset di New Delhi, India.
Meski ada nilai dalam membawa orang-orang berhimpun bersama untuk membagikan pemikiran dan membangun momentum, Sunita khawatir tujuan utama dari pertemuan--untuk menekan para pemimpin dunia berkomitmen kepada aksi yang lebih kuat dan menjaga memegang komitmennya itu--malah hilang.
"Saya tidak pernah melihat yang seperti ini. Kita telah mereduksi segalanya ke dalam sebuah perhelatan yang sangat besar," katanya.
Para ilmuwan dan penggiat iklim yang hadir pertama kalinya sebagai peserta konferensi melukiskan ketidakpercayaannya bahwa para negosiator pemerintahan negara-negara menghabiskan berhari-hari bolak balik hanya membahas beberapa kata dalam dokumen.
"Saya syok dengan proses yang saya lihat," kata Blutus Mbambi, koordinator program di Pusat Aksi dan Advokasi Perubahan Iklim di Lusaka, Zambia. “Tapi kami akan tetap memperjuangkannya. Kami akan tetap menekan."
Baca juga: Menteri Siti dan Presiden Jokowi Dipuji di COP27 Soal Pengurangan Deforestasi, Apa Kata Walhi?
Perjuangan untuk Pendanaan Baru
Meski begitu, ada satu yang dianggap baik yang muncul dari Sharm El-Sheikh, Mesir, lokasi konferensi. Satu itu adalah para delegasi dari negara dengan pendapatan rendah dan menengah pulang dengan membawa kesepakatan pendanaan 'loss and damage' yang baru untuk menolong mereka menutup kerugian dampak perubahan iklim.