TEMPO.CO, Jakarta - Tim peneliti dari Departemen Kelautan Universitas Padjadjaran (Unpad) membuat dua alat pemantau kondisi air laut yang juga bisa dipakai di danau dan waduk. Pemantau itu bisa dipakai untuk mendeteksi tingkat polusi air serta keberadaan ikan. Alat yang dilengkapi portal penerimaan data pemantauan itu meraih juara pertama dan kedua di ajang Kompetisi Inovasi Jawa Barat 2022.
Alat pertama dinamakan RHEA, singkatan dari Drifter GPS Oceanography Coverage Area. Sedangkan alat kedua, disebut ARHEA, akronim dari Advanced Drifter GPS Oceanography Coverage Area.
Ketua tim riset dari Departemen Ilmu Kelautan Unpad, Noir P. Purba, mengatakan pembuatan alat itu hasil kerja sama dengan PT Robo Marine Indonesia di Bandung. Riset juga disokong dana hibah dari United Nations Development Programme (UNDP) khusus untuk negara kepulauan.
RHEA berupa tabung sepanjang 1 meter berdiameter 144 milimeter dengan bobot sekitar 10 kilogram. Berwarna kuning dari bahan aluminium alloy, tabung itu dipasangi berbagai sensor, baterai, penyimpan data, global positioning system (GPS), serta sistem komunikasi lewat radio dan satelit.
Di perairan terbuka atau tertutup, tabung itu akan mengapung karena dipasangi pelampung. “Alatnya tanpa dikontrol, RHEA akan bergerak sesuai arah arus airnya saja,” kata Noir, Jumat, 23 Desember 2022.
Sensor yang dipasang sesuai kebutuhan pengguna, bisa untuk mengukur parameter atmosfer seperti suhu udara dan kelembapan. Sementara parameter di dalam air seperti untuk mengetahui kondisi salinitas atau kadar garam air laut, derajat keasamaan (pH), suhu air, oksigen terlarut (DO), dan kekeruhan.
Waktu pengukuran oleh sensor bisa diatur pengguna, misalnya per 5 menit, 30, atau 60 menit. Data yang disimpan kemudian dikirimkan via satelit, lalu diterima oleh Pusat Data Kelautan Terintegrasi. Portal yang dikembangkan Unpad itu meraih juara kedua pada ajang inovasi tersebut.
Data yang dikumpulkan bisa digunakan oleh pihak yang terkait erat dengan laut, misalnya Dinas Kelautan, lembaga riset, atau institusi lain, misalnya untuk mengetahui keberadaan ikan dan memetakan areanya.
Lama pengoperasian RHEA sehabis masa pakai baterai sekitar tiga bulan di perairan. Alat bisa diambil untuk pengisian ulang baterai. “Harga alat RHEA sekitar Rp 100 juta per unit, sesuai kebutuhan sensor yang diinginkan pengguna,” katanya.
Sementara ARHEA punya bentuk, ukuran, dan sensor parameter yang mirip dengan RHEA. Bedanya, bobot ARHEA lebih berat, yaitu 15 kilogram, dan punya kemampuan menyelam. Sejauh ini, kedalaman maksimalnya hingga 200 meter.
Sebelum mencapai batas jarak terdalam, sensor akan memberi sinyal agar alat segera naik dengan dorongan mesin rotor yang dipasang di bagian dasar tabung. “Sampai di permukaan air dia akan mengirimkan data, setelah data terkirim dia turun lagi,” ujar Noir.
ARHEA, dengan harga sekitar Rp 150 juta, juga bisa digunakan untuk mengetahui daerah penangkapan ikan, misalnya tuna yang berada di kedalaman 100 meteran. Dirintis sejak 2016, tim riset telah menguji coba kedua alat itu sekaligus melakukan pengumpulan data di Pulau Pramuka dan perairan sekitar Pantai Pangandaran. Agar tidak mudah kembali ke daratan, penempatan alatnya harus di laut lepas.
Baca:
Terjemahkan Novel, Mahasiswa Unpad Raih Juara Penerjemahan Internasional Harvill Secker 2022
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.