TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut Sekolah Lapang Iklim (SLI) yang digelar BMKG cukup efektif dalam mengedukasi masyarakat mengenai perubahan iklim dan upaya adaptasi yang perlu dilakukan.
Hal tersebut disampaikan Dwikorita saat menemui petinggi Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) di Denver, Collorado, Amerika Serikat, dalam rangka the 2023 American Meteorological Society (AMS) Annual Meeting. Pada acara tersebut, hadir di antaranya Presiden WMO, Dr. Gerhard Adrian, Sekretaris Jendral WMO, Dr. Petteri Taalas, dan Vice-President WMO, Dr. Celeste Saulo.
Dalam pertemuan tersebut, Dwikorita didampingi oleh Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Kapusdiklat) BMKG, Nelly Florida Riama dan sejumlah widyaiswara BMKG dan Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (STMKG).
“Melalui SLI, BMKG mengedukasi masyarakat, khususnya petani, tentang iklim, termasuk di antaranya perubahan iklim dan pola adaptasi yang dapat dilakukan. Langkah ini juga sebagai bentuk dukungan BMKG dalam meningkatkan produktivitas pertanian, serta menjaga kedaulatan dan ketahanan pangan bangsa,” kata Dwikorita.
BMKG, lanjut Dwikorita, secara berkelanjutan terus menggelar Sekolah Lapang Iklim (SLI) agar petani dan tenaga penyuluh pertanian bisa memanfaatkan informasi dan prakiraan cuaca dengan baik serta mampu beradaptasi dengan situasi cuaca dan iklim kekinian.
Dwikorita mengatakan SLI adalah contoh praktek terbaik yang dilakukan BMKG. Pada kegiatan ini, BMKG menggabungkan data observasi dengan kemampuan tradisional warga setempat. Hasilnya, diklaim produktivitas lahan pertanian rata-rata meningkat hingga 30 persen.
Di hadapan petinggi WMO, Dwikorita juga menekankan tentang pentingnya penguatan sistem peringatan dini di tengah kondisi planet Bumi yang semakin kompleks dengan berbagai anomali dan ketidakpastian, sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim global. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin seringnya kejadian ekstrem terjadi dengan durasi yang semakin bertambah dan intensitas semakin tinggi. Tidak hanya cuaca dan iklim, namun juga berbagai fenomena tektonik, dan vulkanik.
Menurut Dwikorita, seluruh negara harus berbagi mengenai data dan informasi yang valid dan berkualitas yang dimiliki untuk mengurangi dampak bencana alam, utamanya bagi negara-negara berkembang. Karenanya, literasi, advokasi, edukasi/training/magang tentang kebencanaan perlu dilakukan secara berkelanjutan dan tidak berhenti di tengah jalan. Hal tersebut dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi ancaman bencana yang dapat datang sewaktu-waktu.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menegaskan komitmen BMKG untuk menguatkan peran dan kontribusi Indonesia sebagai anggota WMO, terutama dalam hal capacity development dan akselerasi pengembangan program Early Warning System. BMKG, lanjut dia, juga berkomitmen menjadi salah satu WMO Integrated Global Observing System (WIGOS) Center demi memperkuat anggota lainnya dalam hal kualitas data.
WMO, tambah Dwikorita, percaya dengan kepemimpinan Indonesia dalam program Pengembangan/Penguatan Kapasitas anggota Badan Meteorologi Dunia di Bidang Prediksi Cuaca secara Numeris dan di Bidang Sistem Peringatan Dini.
Dalam dua tahun terakhir, setiap tahun BMKG diminta membimbing negara-negara berkembang di Pasifik, Asia dan Afrika untuk memperkuat kapasitas negara-negara tersebut dalam melakukan prediksi cuaca secara numeris.
"Tahun ini rencananya akan ditambahkan training di Bidang Sistem Peringatan Dini, dalam rangka merespon amanat dari Sekjen PBB untuk mewujudkan 100 persen masyarakat dunia yang terpapar multi bencana dapat terlindungi dengan Sistem Peringatan Dini yang andal," jelasnya.
Baca:
Peringatan Dini Tsunami Gempa M7,5 Maluku Berakhir, Bangunan Runtuh di Saumlaki
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.