Iwan Ramdan, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman, mengatakan belum menemukan hasil penelitian yang secara spesifik menganalisis kontribusi limbah rumah tangga (termasuk kotoran manusia) terhadap penurunan kualitas air Sungai Mahakam. "Namun, kontribusi variabel limbah rumah tangga terhadap pencemaran Sungai Mahakam tidak bisa dianggap kecil,” kata Iwan.
Iwan juga setuju selain pencemaran, masalah lain di Mahakam dan sungai-sungai lainnya di Samarinda adalah penyempitan dan pendangkalan aliran sungai. Dengan begitu, dia juga mendukung penertiban atau penataan sepanjang bantaran sungai yang disebutnya merupakan upaya memaksimalkan aliran air supaya banjir bisa berkurang--selain lewat pengerukan.
“Jadi penggusuran rumah di pinggir kali adalah salah satu upaya penanggulangan banjir," katanya sambil menambahkan, "Jika dilihat dari upaya pengurangan cemaran air sungai akibat limbah rumah tangga bisa juga, karena warga di bantaran sungai biasanya langsung membuang limbah rumah tangganya ke sungai.”
Selain untuk mengurangi banjir, pembongkaran permukiman di bantaran sungai juga bagian dari upaya Pemerintah Kota Samarinda menciptakan kota yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni penduduk sesuai target mendirikan Kabupaten Kota Sehat (KKS). Target ini diatur lewat Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2005 dan Nomor:1138/Menkes/PB/VIII/2005 tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat.
"Saat ini, pemerintah pusat sedang mematangkan aturan tersebut ke tingkat lebih tinggi, yakni Rancangan Peraturan Presiden Kabupaten Kota Sehat," kata Maryam Amir, Wakil Ketua Forum Kota Sehat Samarinda.
Peluang dan Tantangan Bikin Septic tank
Maryam menjelaskan, Forum sedang fokus kepada target percepatan ODF (Open Defecation Free) atau setop buang air besar di pinggir kali. Menurutnya, permasalahan ini telah menjadi salah satu tantangan terbesar Kota Samarinda yang wilayahnya banyak dialiri sungai, salah satunya Sungai Mahakam yang panjangnya 920 kilometer.
Untuk mengatasi tantangan warga yang masih buang air besar sembarangan, cara yang ditempuh Pemerintah Kota Samarinda antara lain mengucurkan bantuan membuat jamban, baik untuk individu maupun komunal. Tapi membuat jamban saja tidak cukup, harus disertai septic tank, individual ataupun komunal.
Tanpa septic tank, Maryam mengatakan, "tak sampai setahun lumpur tinja sudah penuh karena tidak ada penyerapan. Ada juga warga yang pakai drum plastik atau gentong (sebagai septic tank)."
Menurutnya, Pemerintah Kota Samarinda telah menyediakan jasa sedot lumpur tinja, tetapi masih berbayar. Berdasarkan harga pada 2019, per satu kali sedot WC biayanya Rp 500 ribu, di mana harga ini pun sering didiskon 50 persen. Kendati begitu, hal ini kerap dirasa cukup memberatkan.
Maryam mengingat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga pernah turun tangan membantu membuatkan septic tank komunal. Ada beberapa septic tank yang diperuntukkan bagi sekitar 200 KK, tetapi struktur tanahnya selalu ada penurunan (tidak keras) dan WC warga ada yang lebih rendah sehingga tidak bisa masuk ke septic tank komunal.
Menggandeng Tentara sampai PKK