TEMPO.CO, MALANG — Membangun iklim riset menjadi tantangan terbesar yang dihadapi Universitas Brawijaya (UB) dalam upaya mengembangkan diri sebagai “kampus cerdas” berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan teknologi digital.
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Brawijaya (UB) Profesor Widodo pada hari kedua Sidang Paripurna Majelis Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTNBH) bertema “Tantangan Pengelolaan PTNBH dalam Meningkatkan Mutu Akademik dan Rekognisi Internasional” yang diselenggarakan Kampus UB pada Sabtu kemarin.
“Untuk kasus kami, tantangan terbesarnya adalah membangun iklim riset,” kata Widodo saat sesi tanya jawab, seperti dikutip dari rilis yang dibagikan Bagian Humas UB pada Minggu siang, 12 Februari 2023.
Widodo mengatakan ada empat cara untuk mengatasi tantangan tersebut. Pertama, perguruan tinggi negeri yang berdiri pada 5 Januari 1963 itu mendatangkan ilmuwan dari dalam maupun luar negeri yang bisa menetap lama di UB. Ilmuwan ini diharapkan bisa menularkan iklim riset.
Cara kedua, kata dia, menambah jumlah mahasiswa PMDSU (Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul). Universitas Brawijaya termasuk dalam 20 PTN penyelenggara program beasiswa PMDSU batch VII tahun 2023 yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) Kemendikbudristek.
Cara ketiga, manajemen pendanaan riset. “Pendanaan riset tidak selalu fokus pada jumlah, tapi pada manajemen pendanaannya agar diberikan pada orang-orang yang tepat,” kata Widodo.
Cara keempat, memberikan kesempatan kepada staf pengajar yang memenuhi persyaratan untuk magang di kampus-kampus luar negeri yang mumpuni iklim risetnya.
Widodo mengakui kualitas riset di UB belum bagus. Meski demikian, Widodo menukas, UB berani mendeklarasikan diri sebagai “AI & digital campus” dengan memanfaatkan AI dan teknologi digital untuk meningkatkan mutu akademik.
Selain itu UB juga mendapatkan rekognisi internasional melalui pemeringkatan universitas dunia yang dilakukan oleh Quarcquarelli Symonds (QS) atau dikenal dengan nama QS World University Ranking.
“Kalau mau berkembang harus berkolaborasi salah satunya dengan pemanfaatan teknologi digital karena AI sifatnya diverse,” ujar Widodo.
Menurut Widodo, berkat teknologi digital, kegiatan belajar mengajar bisa lebih fleksibel bagi dosen dan mahasiswa, terutama memudahkan mahasiswa mengikuti perkuliahan karena perkuliahan bisa dilakukan di mana saja saat ini baik secara tatap muka maupun dalam jaringan (daring).
UB Miliki Supercomputer untuk Kembangkan Riset
Untuk masuk ke sana, UB terus berbenah, menata dan menyediakan perangkat penunjang. Saat ini, kata dia, UB sudah memiliki supercomputer NVIDIA DGX A100 dan kurang dari sepuluh universitas di Indonesia yang mampu memilikinya.
Komputer supercanggih ini bisa dimanfaatkan dosen dan mahasiswa yang memerlukan perangkat komputasi tinggi untuk melaksanakan riset dan publikasi. Superkomputer ini dapat mempersingkat kegiatan riset yang berhubungan dengan pembuatan kecerdasan buatan; sangat mendukung proses pembelajaran mahasiswa karena kapasitas superkomputer itu mampu melayani 56 orang pengguna sekaligus, serta menghemat biaya investasi card NVIDIA versi komputer yang berharga mahal.
“Menghadirkan superkomputer ini juga untuk mempersiapkan SDM (sumber daya manusia) yang unggul dan cakap teknologi,” ujar Widodo.
Pada acara yang sama, Ketua Senat Akademik Institut Teknologi Bandung (ITB) Hermawan Kresno Dipojono mengatakan, 30 universitas riset di Indonesia harus bekerja sama untuk memperkuat ekosistem penelitian berkualitas, seperti yang dilakukan di sejumlah negara maju. Kerja sama ini bisa berupa penulisan artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional bereputasi atau terindeks Scopus.
“Jumlah author (penulis) dilihat di Scopus untuk MIT (Institut Teknologi Massachusetts) itu 50 kali lipat dari jumlah dosennya. Itu tandanya mereka melakukan kolaborasi dan itu sangat patut dicontoh,” kata Hermawan.
Ia juga mengingatkan seluruh universitas yang mempunyai kelas doktoral untuk terus mendorong dosen-dosennya untuk produktif menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan jurnal internasional bereputasi. Universitas yang berani membuka kelas doktoral, maka berarti harus berani menjadi universitas riset.
Hal itu berimplikasi pada keharusan untuk menerbitkan karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi apabila ingin naik jabatan menjadi lektor kepala dan bahkan jadi guru besar. Angka kredit minimal 850 yang dikumpulkan dosen yang ingin naik jabatan sebagai lektor kepala maupun guru besar masih kurang jika tidak disertai disertai karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional terindeks Scopus.
Hermawan mencontohkan tim riset yang dipimpinnya selama 25 tahun. Tim riset ini beranggotakan mahasiswa S1-S3, dan staf. Setiap pekan tim ini bertemu membahas penelitian.
Pilihan Editor: Ratusan Mahasiswa Teknik UB Keracunan Makanan Saat KKM di Desa Jedong
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.