TEMPO.CO, Jakarta - Para ahli cemas dengan temuan flu burung pada hewan mamalia belakangan ini. Meski mereka juga menekankan virus harus bermutasi yang signifikan untuk bisa menyebar di antara manusia.
Sejak akhir 2021 Eropa dicengkeram wabah terburuk flu burung. Amerika Selatan dan Utara juga mengalami wabah yang parah. Sebanyak puluhan juta unggas domestik di dunia telah dibantai karena didapati terjangkit virus H5N1 tersebut. Wabah globalnya juga bertanggung jawab untuk kematian puluhan ribu burung liar.
Tom Peacock, virolog dari Imperial College London, Inggris, menyebut telah terjadi panzootic atau pandemi di antara hewan, dalam hal ini unggas. "Kami belum sepenuhnya yakin tapi diduga ini didorong oleh turunan virus yang sedikit berbeda dari H5N1 yang menyebar sangat efektif di antara burung liar yang bermigrasi," katanya.
Dasarnya adalah bahwa flu burung H5N1 yang bisa melompat ke mamalia selama ini dipandang langka--dan lebih langka lagi manusia bisa terjangkit virus yang berpotensi mematikan itu.
Pada Kamis pekan lalu, Badan Keamanan Kesehatan Inggris menyatakan seekor rubah terkonfirmasi positif terinfeksi H5N1. Kasus ini menambah kasus delapan ekor rubah dan berang-berang pada tahun lalu. Seluruh virus H5N1 yang ditemukan memiliki mutasi PB2.
Menurut Peacock, mutasi itulah yang membuat virus bisa bereplikasi lebih baik dalam sel-sel mamalia. Namun dia juga menambahkan, "Butuh mutasi lebih jauh lagi untuk virus itu bisa menyebabkan pandemi flu pada manusia."
Baca halaman berikutnya: panzoonosis dan mutasi virus pemicunya