TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Dana Pengelola Pendidikan (LPDP) mengungkap ratusan alumni LPDP di luar negeri belum pulang ke Indonesia selepas masa studinya selesai. Dari 35.536 awardee terdapat 413 awardee yang bermasalah dan tidak kembali.
Padahal, salah satu syarat beasiswa itu adalah keharusan kembali ke Indonesia. Merespons hal itu, Pakar Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Tuti Budirahayu mengelompokkan dua kategori penerima beasiswa LPDP yang melanggar aturan.
Pertama, kata dia, penerima beasiswa yang benar-benar melanggar aturan LPDP, yaitu tidak membayar biaya ganti rugi atas beasiswa selama studi hingga lulus, terlebih tidak kembali ke Indonesia. Dalam aturan, mereka yang melanggar aturan atau tidak kembali ke Indonesia dikenakan sanksi membayar ganti rugi.
“Jelas itu pelanggaran berat, dalam sosiologi itu termasuk penyimpangan. Artinya tindakan melawan aturan atau hukum yang berlaku sehingga layak mendapat hukuman,’’ ujarnya dilansir dari laman Unair pada Senin, 20 Februari 2023.
Sementara kategori kedua, lanjutnya, ialah penerima beasiswa LPDP yang telah menyelesaikan studi kemudian ditawari bekerja di luar negeri ataupun menikah warga lokal, namun memenuhi kewajiban untuk membayar denda atau minimal menjalankan kewajiban yang terkait dengan pelanggaran. Tuti menyebut awardee kategori kedua sebagai kelompok brain drain.
Apa Itu Brain Drain?
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair ini menjelaskan brain drain adalah perpindahan kaum intelektual, ilmuwan, cendikiawan dari negerinya sendiri dan menetap di luar negeri. Secara sederhana, Tuti menjelaskan kondisi itu digambarkan ketika banyak orang yang memiliki keahlian atau kepandaian, tetapi tidak digunakan untuk membangun bangsanya atau memajukan negaranya.
"Mereka lebih memilih bekerja atau berkarier di luar negaranya karena berbagai faktor," ujarnya.
Sejumlah faktor yang membuat penerima beasiswa LPDP enggan kembali ke Indonesia yakni kesejahteraan hidup dan juga gaji yang jauh lebih tinggi. "Atau memang dibajak oleh negara lain atas dasar keahlian yang dimilikinya. Bisa juga mereka adalah para imigran yang secara politis tidak bisa kembali ke negaranya atau juga karena pilihan hidup,’’ kata Tuti.
Tuti menegaskan brain drain tidak saja terjadi pada penerima LPDP, akan tetapi, mereka yang sekolah ke luar negeri dengan biaya sendiri dan memilih tidak kembali ke negara asalnya. Dia mengatakan persoalan brain drain harus dibenahi melalui berbagai kebijakan yang ada di Indonesia.
Menurutnya, jika lebih banyak orang yang memilih bekerja atau berkarier di luar negeri, hal itu karena mereka tidak mendapat apresiasi yang tinggi dari pemerintah Indonesia. "Bukan saja dari segi pendapatan yang rendah melainkan apresiasi terhadap bidang kerja yang tidak sesuai harapan para alumni luar negeri," ujarnya.
Pilihan Editor: Dosen UII Hilang Terlacak di Boston, Bawa Misi Apa?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.