TEMPO.CO, Jakarta - Hadirnya teknologi chatGPT diperkirakan dapat memberikan manfaat besar bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi. Namun, penggunaan aplikasi ini harus diperhatikan dan disikapi secara bijaksana. Menurut CEO Bahasa Kita Oskar Riandi, chatGPT dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti layanan pelanggan, asisten pribadi, menulis artikel, meringkas teks, parafrase, menerjemahkan bahasa, analisis, dan menulis kode komputer.
Tidak heran jika pasca-dirilis pada 30 November 2022, sistem ini langsung memiliki satu juta pengguna dalam lima hari. Jumlah ini terus meningkat dalam dua bulan menjadi 100 juta pengguna. “Sistem ini memberikan impact luar biasa kepada penggunanya, akan tetapi, kita juga bisa mengalami halusinasi. Secara semantik hasil (jawabannya) tetap koheren tetapi datanya salah. Ini perlu hati-hati,” papar Oskar dilansir dari laman resmi Unpad pada Jumat, 24 Februari 2023.
Lebih lanjut Oskar menyampaikan, secara peluang, chatGPT dapat digunakan untuk melakukan personalisasi pembelajaran. Sistem ini memberikan respons yang sesuai kebutuhan dan preferensi belajar setiap mahasiswa. Hal ini didasarkan bahwa kemampuan belajar setiap mahasiswa berbeda, sehingga personalisasi pembelajaran sangat diperlukan agar sesuai kebutuhan dan preferensi belajarnya.
Peluang lainnya, kata dia, adalah mampu mengefisiensi pembelajaran. Mahasiswa bisa memiliki waktu lebih panjang untuk berinteraksi langsung di sistem, di mana dosen sudah melakukan fine tuning materi perkuliahan ke dalam chatGPT.
Dengan demikian, mahasiswa juga bisa mengakses pembelajaran kapan pun dan di mana pun. Hal ini mampu meningkatkan fleksibilitas pembelajaran dan memberikan aksesibilitas lebih kepada mahasiswa.
Namun, sistem ini juga memberikan risiko yang perlu diperhatikan perguruan tinggi. Oskar menyampaikan, penggunaan masif chatGPT bisa mengakibatkan ketergantungan bagi penggunanya. Hal ini mengakibatkan peserta didik terlalu bergantung pada teknologi dan mengurangi kemampuan untuk berpikir kritis.
Ancaman lain adalah ketidakuratan data sehingga berpotensi menghasilkan informasi keliru (hoaks) atau halusinasi, kehilangan interaksi sosial, penggunaan yang kurang etis seperti digunakan untuk melakukan kecurangan saat ujian, serta ketidakmampuan dalam memahami nuansa bahasa.
Karena itu, Oskar mendorong perlunya integrasi penggunaan chatGPT dalam pembelajaran yang diarahkan dosen dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat memperkaya proses pembelajaran tanpa menggantikan interaksi sosial dan partisipasi aktif mahasiswa.
“Dengan memperhatikan manfaat dan risiko penggunaan chatGPT, teknologi ini dapat memberikan manfaat maksimal bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi,” ujarnya.
Pilihan Editor: Siswa dari SMA Ini Berhasil Raih Golden Ticket Masuk ITS 2023, Caranya?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.