Komentar tersebut di-pin sehingga menjadi komentar teratas di kolom komentar Ridwan Kamil. Ridwan Kamil membalas komentar tersebut dengan "Menurut Maneh Kumaha?".
Peneliti Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya (PSKMD) Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad), Justito Adiprasetio mengatakan kata ‘maneh’ yang digunakan Sabil dalam komentarnya, bagi Tito, tidak begitu berarti.
Tito merujuk pada konteks kategori hate speech. Di negara-negara barat, pengertian hate speech berkaitan dengan ancaman. Kata ‘maneh’ ini, sebut Tito, bahkan tidak masuk dalam kategori defamation atau pencemaran nama baik.
“Ini yang harus dipertanyakan, kenapa Kang Emil mesti merespons itu? Bahkan secara langsung kepada sekolahnya. Jadi kalau hanya kata ‘maneh’ saja saya pikir responsnya sangat reaktif dan sebenarnya tidak perlu dilakukan. Lebih penting untuk melihat hal-hal yang substansial dari kritik tersebut daripada hanya melihat ‘bungkusnya’,” kata Tito kepada Tempo.
Selain itu, ia juga melihat apa yang dilakukan oleh Ridwan Kamil sebagai praktik ‘dog whistle’ melalui kebiasaannya menyematkan atau meng-pin komentar di unggahan media sosialnya. Dog whistle merujuk pada penggunaan bahasa suggestive untuk memperoleh dukungan. Langkah ini yang membuat guru tersebut mengalami perundungan di media sosial.
“Ini yang perlu dicermati karena saya melihat fenomena ‘dog whistle’ yang melibatkan tokoh politik ini tidak terjadi satu atau dua kali saja. Saya sangat yakin bahwa mereka tahu betul konsekuensi dari komunikasi yang mereka lakukan,” ujar Tito.
Mohammad Hatta Muarabagja
Pilihan Editor: Anak Wapres Ma'ruf Amin Dikukuhkan Jadi Guru Besar Unesa, Ini Hasil Risetnya