TEMPO.CO, Jakarta - Lulus dengan IPK sempurna 4.00, Tuwuh Handayani menyandang gelar magister Pendidikan Dasar Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tuwuh diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023.
Meraih nilai tertinggi dibutuhkan perjuangan, komitmen, dan konsistensi dari semester ke semester. Terlebih, perempuan kelahiran Kediri tersebut tidak hanya kuliah, tetapi juga mengajar sekaligus mendapat amanah mengepalai SDN Bandungrejo 1, Bojonegoro.
Tuwuh Handayani menceritakan menjalani kuliah sambil mengajar menjadi tantangan sendiri. Dibutuhkan komitmen dan manajemen waktu yang baik, sehingga kuliah dan tugas dan tanggung jawab sebagai guru sekaligus kepala sekolah tidak terabaikan.
“Pengalaman saya kuncinya ada di manajemen waktu dan komitmen pribadi kita sendiri. Saya membuat manajemen waktu dan ada kegiatan prioritas. Biasanya prioritas kerja dan kuliah aja dulu, sehingga aktivitas yang lain dikurangi. Karena banyak yang harus dikerjakan, saya sering mengerjakan tugas kuliah sampai larut malam,” ujarnya dilansir dari laman Unesa pada Selasa, 21 Maret 2023.
Sempat Kesulitan di Semester Awal
Masa terberat yang pernah dilewati yaitu pada semester satu dan dua. Selain masih banyak sks atau mata kuliahnya, juga banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan. Itupun tugasnya lebih mengarah ke riset, analisis, dan sebagainya yang tentunya membutuhkan waktu dan tenaga.
“Saya sempat kewalahan awalnya. Saat itu ibu saya terbaring di rumah sakit untuk proses penyembuhan dari paparan covid-19. Itu saat saya ujian semester berlangsung. Tetapi, saya terus berjuang tidak boleh menyerah dan akhirnya sampai di titik ini,” ucapnya.
Selain itu, tantangan di semester akhir adalah menyelesaikan tesis. Untuk penelitian akhirnya, dia mengangkat tesis berjudul Pengembangan Bahan Ajar Teks Fiksi Berbasis Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Literasi Membaca Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar.
Pada tesis tersebut dia membuat pedoman atau pola bahan ajar yang terkait dengan peningkatan serta pengembangan kemampuan peserta didik dalam berliterasi. Adapun konten fiksi di dalamnya dikaitkan dengan kearifan lokal yang meliputi peninggalan dan situs yang ada di Bojonegoro.
Dia mengangkat judul tersebut atas dasar keprihatinannya terhadap rendahnya angka literasi di Bojonegoro, utamanya anak jenjang sekolah dasar. Baginya, makna literasi yang sesungguhnya adalah kemampuan untuk membaca dan memahami maksud dari suatu bacaan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
“Para murid itu mampu membaca cerita yang diberikan oleh guru, tetapi belum sepenuhnya mampu menyimpulkan maksud dan memahami cerita yang dibaca,” ujarnya.
Kemudian untuk langkah selanjutnya setelah kelulusan S2 ini, dia fokus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru dan kepala sekolah. “Ada keinginan untuk S3, tetapi saya fokus untuk tingkatkan mutu pendidikan di sekolah dulu, fokus mengajar dulu sambil merencanakan lanjut studi ke jenjang berikutnya,” katanya.
Pilihan Editor: Menulis Karya Ilmiah Pakai Platform AI ChatGPT Berpotensi Kena Plagiarisme