TEMPO.CO, Jakarta - Mirzam Abdurrahman, dosen program studi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) bekerja sama dengan 11 institusi untuk meneliti keruntuhan tubuh Gunung Anak Krakatau sebagai tolok ukur pemodelan tsunami akurat. Studi ini telah dipublikasikan di jurnal saintifik Nature Communications dengan judul Submarine landslide megablocks show half of Anak Krakatau island failed on December 2nd, 2018.
Tsunami vulkanik pada 2018 yang terjadi di Selat Sunda ini tak terprediksi, karena terjadi tanpa didahului oleh gempa atau penurunan permukaan air laut, yang menggolongkannya ke dalam kategori tsunami non-seismik.
Metode pengamatan gunung berapi di Indonesia saat ini hanya merekam aktivitas seismik dan sinyal-sinyal lain yang diakibatkan oleh kenaikan magma pada gunung. Akibatnya, bencana tsunami pada 2018 tidak dapat dideteksi dengan metode yang ada.
Tsunami vulkanik ini diakibatkan oleh keruntuhan tubuh barat Gunung Anak Krakatau yang membuat Pulau Krakatau kehilangan lebih dari 50 persen massanya. Keruntuhan tersebut merupakan hasil dari proses destabilisasi yang telah terjadi sejak lama.
“Lokasi dan jangkauan dari keruntuhan tahun 2018 mungkin juga ditimbulkan oleh keadaan struktural dari margin kaldera, diskontinuitas struktural internal, dan lokasi dari ketidakstabilan sebelumnya. Sonar laut juga menunjukkan jika gunung Anak Krakatau berdiri melebar di atas tubuh dinding kaldera yang terbentuk pada 1883, kemungkinan mengakibatkan ketidakstabilan secara gravitasi,” terang Mirzam, dilansir dari laman ITB pada Rabu, 21 Maret 2023.
Selain mengakibatkan ombak tinggi yang merenggut ratusan korban jiwa, keruntuhan Gunung Anak Krakatau juga menimbulkan erupsi karena longsor yang terjadi mengakibatkan sistem magma kehilangan tekanan. Erupsi yang terjadi setelah adanya keruntuhan ini memuntahkan material vulkanik yang mengubur bekas longsoran.
Meneliti Deposit Longsor di Bawah Laut
Penelitian Mirzam dengan 11 institusi ini tidak hanya mengungkap karakterisasi komponen subaerial dari reruntuhan, tetapi juga komponen bawah lautnya.
“Data bawah laut memegang kunci dari pemahaman keruntuhan Anak Krakatau yang lebih akurat karena pengamatan deposit kelongsoran mampu memberikan metode pengukuran volume keruntuhan dan investigasi proses longsor yang independen,” kata James E. Hunt, penulis pertama dalam penelitian yang bekerja sebagai peneliti geosains bawah laut senior dari National Oceanographic Centre, Inggris.
Keruntuhan terjadi setelah beberapa bulan fase aktivitas erupsi yang cukup intens. “Pengamatan kami menunjukkan bahwa aktivitas ini menjadi pemicu keruntuhan karena peningkatan beban di tubuh bagian barat oleh lava dan material erupsi,” ucap Hunt. Dengan demikian, bidang kegagalan yang baru telah terbentuk setidaknya beberapa bulan sebelum keruntuhan terjadi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa deposit didominasi oleh material berukuran besar dan angular yang bergerak sejauh 1.5km dari Anak Krakatau dan naik setinggi 70m di atas dasar laut. Deposit longsor tersebut telah terkubur oleh material yang dikeluarkan selama erupsi.
Hunt mengatakan Longsor tersebut memicu terjadinya periode vulkanik intensif yang mengakibatkan timbulnya material dengan volume lebih banyak daripada yang hilang saat terjadinya keruntuhan badan. "Tetapi 90 persen dari material baru itu terdeposit di lepas pantai," ujarnya.
Ia menambahkan perubahan dasar laut yang terjadi pada saat itu menunjukkan bahwa lingkungan vulkanik skala besar dapat tetap bersifat sangat dinamis berbulan-bulan setelah terjadinya keruntuhan badan. Hal itu juga menggambarkan potensi suatu keruntuhan untuk memicu aktivitas vulkanik yang dinamis yang mengaburkan bukti dari keruntuhan itu sendiri.
Keruntuhan badan Anak Krakatau 2018 dan tsunami yang terjadi adalah satu-satunya peristiwa major island-arc collapse yang berhasil tercatat oleh instrumen modern, teknologi satelit, pemetaan dasar laut resolusi tinggi, dan pengamatan detail dampak tsunami.
“Peristiwa Anak Krakatau adalah suatu kesempatan unik untuk menganalisis keruntuhan tubuh dan menghasilkan tolok ukur yang akurat untuk menguji solusi pemodelan tsunami,” ujarnya.
Pilihan Editor: Kembangkan Astronomi Modern, Madrasah Aliyah NU Buntet Pesantren Bangun Observatorium