TEMPO.CO, Jakarta - Pemanfaatan Kekayaan Intelektual di Indonesia masih menjadi tantangan, tak terkecuali di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dari 2500 lebih kekayaan intelektual yang dikelola BRIN sampai dengan tahun lalu, belum sampai 10 persen yang telah termanfaatkan atau dikomersialisasi.
Jumlah kekayaan intelektual yang dimiliki oleh BRIN mencapai 2.389 paten, 352 pencatatan hak cipta, 122 desain industri, 17 perlindungan varietas tanaman, dan 46 merek. Jumlah itu belum termasuk target BRIN mendaftarkan 600 paten baru tahun ini.
Data diungkap dalam seminar bertajuk 'Ekosistem Kekayaan Intelektual dalam Pemanfaatan Hasil-Hasil Riset dan Inovasi' yang digelar di Gedung BJ Habibie BRIN, Jakarta, Kamis 13 April 2023. "Kami ingin membuat suatu ekosistem yang memungkinkan kekayaan intelektual yang sudah ada maupun yang sedang dipersiapkan untuk didaftarkan ini bisa sesegera mungkin dimanfaatkan oleh industri dan masyarakat," kata Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN, Agus Haryono.
Untuk itu Agus mengungkap pula kalau BRIN bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM akan bekerja sama melalui pertukaran data dan pemetaan kebutuhan masyarakat untuk secara nyata mewujudkan pemanfaatan Kekayaan Intelektual. "Tidak hanya kekayaan intelektual BRIN tapi juga nasional," katanya menambahkan.
Seminar pada hari itu dilaksanakan sebagai langkah awal dari tindak lanjut kerja sama. BRIN dan DJKI memberikan pengetahuan tentang kebijakan dalam mendorong pemanfaatan perlindungan kekayaan intelektual dan pemanfaatan informasi paten dalam aktivitas riset dan inovasi untuk dapat menghasilkan kekayaan intelektual yang berkualitas.
"Juga bagaimana menghadapi potensi pasar global melalui jalur Patent Cooperation Treaty (PCT) serta beberapa strategi dalam pemanfaatan hasil riset dan inovasi dari perguruan tinggi dan industri,” tutur Agus.
Direktur Alih dan Sistem Audit Teknologi, Strategi Komersialisasi Hasil Riset BRIN, Edi Hilmawan, mengakui komersialisasi bukanlah hal yang mudah. Menurutnya, suatu invensi bisa sukses atau dimanfaatkan sebagian kecilnya saja. Dia meyinggung tantangan yang dikenal dengan istilah 'lembah kematian' yang merujuk kepada kegagalan produk inovasi bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, sehingga tidak berhasil dikomersialkan.
Secara lebih detil, ia menjelaskan 'lembah kematian' tercipta karena adanya gap antara riset dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. "Ini yang menjadi PR besar bagaimana mengantarkan hasil melewatinya kemudian bisa menjadi produk yang komersial," kata Edi sambil menambahkan, "Di sini sebenarnya tantangan yang diberikan kepada BRIN."
Edi menyebut kalau BRIN hanya melisensikan 22 dari 400 lebih paten yang terdaftar di BRIN pada tahun lalu. Angka yang diakui Edi sangat kecil. “Jadi memang tidak mudah melewati (lembah kematian) ini kemudian dikomersialkan,” katanya sambil menyebut sejumlah faktor kunci dari identifikasi pasar sampai kemitraan dan penggalangan dana.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Min Usihen, menilai keberadaan BRIN dapat mendorong penerapan riset berbasis kekayaan intelektual yang dapat didayagunakan untuk kepentingan masyarakat. Tak hanya itu, tapi juga kepentingan nasional dan memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Min menyatakan Kemenkum HAM akan selalu mendukung BRIN dalam upaya perlindungan kekayaan intelektual atas hasil-hasil riset nasional yang dihasilkan. "Baik dalam hal pemanfaatan data dan informasi kekayaan intelektual serta pengembangan kapasitas sumber daya manusia, para peneliti, maupun juga inventornya."
ANTARA
Pilihan Editor: Surabaya Berpotensi Hujan dan Petir, Simak Prediksi Cuaca Hari Ini