Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kriminalisasi Haris dan Fatia Dinilai Bukti Kemunduran Hukum dan Warisan Berkuasa Kolonial

Reporter

Editor

Devy Ernis

image-gnews
Pendukung Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menggelar aksi dukungan jelang sidang perdana pembacaan dakwaan dugaan kasus pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jakarta, Senin, 3 April 2023. Sidang perdana pembacaan dugaan pencemaran baik nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan itu digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, hari ini. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Pendukung Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menggelar aksi dukungan jelang sidang perdana pembacaan dakwaan dugaan kasus pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jakarta, Senin, 3 April 2023. Sidang perdana pembacaan dugaan pencemaran baik nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan itu digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, hari ini. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Fajri Nursyamsi menilai kriminalisasi aktivis hak asasi manusia Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai kemunduran hukum. Fajri Nursyamsi menilai bahwa dakwaan terhadap Haris dan Fatia tidak sejalan dan mencederai komitmen dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkominfo, Jaksa Agung RI, dan Kapolri tentang implementasi atas pasal tertentu dalam UU ITE.

Dalam SKB tersebut, pasal yang didakwakan terhadap Haris dan Fatia yakni termasuk dalam kategori pasal tertentu yang tengah diupayakan pembatasan dalam penggunaannya. SKB mengamanatkan bahwa poin 3 huruf c pada Pasal 27 UU ITE tidak lagi diatur sebagai delik penghinaan dan atau pencemaran nama baik apabila muatan yang dibuat dan didistribusikan adalah hasil penilaian, pendapat, evaluasi, dan kenyataan.

“Pasal ini memang sudah lama menjadi perhatian, bahkan memang sudah diakui ada permasalahan,” katanya dalam acara diskusi bertajuk “Kriminalisasi Fatia & Haris: Suatu Tinjauan Interdisipliner” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera pada Kamis, 6 April lalu secara daring. 

Fajri menyebut dalam kasus Haris dan Fatia, konteks dari konten yang dibuat adalah untuk membicarakan hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil terkait dimensi ekonomi dan politik dalam penempatan kekuatan militer di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. Fajri menilai bahwa konten yang dibuat dan didistribusikan masuk dalam kategori penilaian, pendapat, dan evaluasi sehingga tidak dapat dikenakan delik penghinaan dan atau pencemaran nama baik.

Fenomena ini disebutnya sebagai preseden hukum yang apabila berulang dapat membatasi hak untuk berpendapat. Fajri juga menilai dakwaan ini sebagai langkah mundur mengingat Pasal 27 UU ITE merupakan salah satu pasal yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sesuai dengan KUHP Baru yang telah diundangkan.

Meski ketentuan tersebut baru akan berlaku tiga tahun sejak diundangkan, Fajri menegaskan bahwa ketentuan ini telah memiliki daya laku (validity). "Preseden hukum ini juga akan berpotensi merintangi proses transisi keberlakuan KUHP Baru," ujarnya dilansir dari laman Jentera.

Adapun Bivitri Susanti yang merupakan pengajar Jentera menegaskan  kriminalisasi Haris dan Fatia menunjukkan bahwa penegakan hukum telah melenceng. Pada iklim demokrasi, sudah seharusnya publik memiliki hak untuk berpendapat bahkan mengkritik, sehingga pemerintah mendapatkan umpan balik agar bekerja lebih baik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terkait dengan hal tersebut, Bivitri menyarankan agar penguasa dapat membedakan dengan cermat apa yang dimaksud dengan kritik atau hinaan.

“Kalau misalkan dikatakan tuduhan, ya tuduhan, tapi tuduhannya bukan dua orang ini yang mengatakan. Melainkan mereka membahas sebuah studi. Jadi, kalau ada data yang salah, ya diperbaiki aja. Itu yang harusnya dilakukan,” ujarnya.

Adapun Sejarawan JJ Rizal menilai fenomena hukum ini sejalan dengan sistem hukum kolonial yang dikenal sebagai kebijakan Exorbitante Rechten, yaitu hak penguasa untuk menindak masyarakat yang menghalangi upaya penjajahan oleh pemerintah kolonial. 

Baginya, kriminalisasi terhadap pengkritik yang kerap terjadi di Indonesia bukan hal yang aneh, karena masih adanya pewarisan basis hukum dari pemerintah kolonial.

“Kalau kita lihat sejarah, begitu banyaknya aturan yang kita warisi termasuk hukum-hukum yang kita sebut pasal karet yang bertentangan dengan demokrasi. Itu adalah produk dari sebuah sistem negara Hindia-Belanda,” paparnya.

Pilihan Editor: Seleksi Mandiri Unnes Jalur Prestasi Dibuka, Bisa Dapat Keringanan UKT

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Di Indonesia Terima Gratifikasi Bisa Dipenjara 20 Tahun, Bagaimana dengan Negara Lain?

6 hari lalu

Ilustrasi Suap. shutterstock.com
Di Indonesia Terima Gratifikasi Bisa Dipenjara 20 Tahun, Bagaimana dengan Negara Lain?

Berikut hukuman bagi pelaku yang terbukti menerima gratifikasi di berbagai negara di belahan dunia.


Pemecatan Karyawan CNN Indonesia, Bivitri Susanti: Tidak Boleh Ada PHK Karena Berserikat

8 hari lalu

Akademisi Bivitri Susanti, (tengah) memberikan pemaparan terkait penahanan Robertus Robet oleh polisi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Kamis, 7 Maret 2019. TEMPO/Faisal Akbar
Pemecatan Karyawan CNN Indonesia, Bivitri Susanti: Tidak Boleh Ada PHK Karena Berserikat

Akademikus STH Jentera, Bivitri Susanti, ikut menanggapi dugaan PHK sepihak pekerja CNN Indonesia


Banjir Kritik, Isu DPR Bakal Anulir Putusan MK terkait Ambang Batas Pencalonan Pilkada

21 hari lalu

Ketua Hakim Konstitusi Suhartoyo (tengah) memimpin sidang putusan uji materi Undang-Undang Pilkada di Gedung MK, Jakarta, Selasa 20 Agustus 2024. Dalam putusan tersebut MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada yang menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Banjir Kritik, Isu DPR Bakal Anulir Putusan MK terkait Ambang Batas Pencalonan Pilkada

Ada dua skenario yang disebut-sebut disiapkan DPR untuk menganulir putusan MK. Sejumlah kalangan pun melontarkan kritik.


Beredar 2 Skenario DPR Anulir Putusan MK, Akademisi: Jangan Main Gila

21 hari lalu

Ketua Hakim Konstitusi Suhartoyo (keempat kanan) memimpin sidang putusan uji materi Undang-Undang Pilkada di Gedung MK, Jakarta, Selasa 20 Agustus 2024. Dalam putusan tersebut MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada yang menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Beredar 2 Skenario DPR Anulir Putusan MK, Akademisi: Jangan Main Gila

Bivitri Susanti mengatakan pemerintah dan DPR tidak bisa menganulir putusan MK baik melalui Undang-Undang maupun Perppu. Bisa melanggar Konstitusi.


Istana Bantah Tudingan Hasto soal Jokowi Pakai Penegak Hukum untuk Intimidasi

25 hari lalu

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana saat ditemui di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, pada Senin, 22 Januari 2024. TEMPO/Daniel A. Fajri
Istana Bantah Tudingan Hasto soal Jokowi Pakai Penegak Hukum untuk Intimidasi

Istana membantah tudingan PDIP yang menyebut Jokowi menggunakan hukum dan melakukan intimidasi terhadap pihak tertentu.


Lolos Tes Tulis Capim KPK, Wakapolda Kalteng Brigjen Rakhmad Setyadi Lama Berkarier di SDM dan Divkum Polri

29 hari lalu

 Brigjen Pol Rakhmad Setyadi. Istimeewa
Lolos Tes Tulis Capim KPK, Wakapolda Kalteng Brigjen Rakhmad Setyadi Lama Berkarier di SDM dan Divkum Polri

Capim KPK Brigjen Rakhmad Setyadi adalah Wakapolda Kalteng yang berpengalaman di bidang SDM Polri. Seangkatan dengan eks Kadiv Propam Ferdy Sambo.


Ketua BEM Unpad Sebut RUU Polri Membahayakan Demokrasi

46 hari lalu

Ilustrasi Polri. Istimewa
Ketua BEM Unpad Sebut RUU Polri Membahayakan Demokrasi

Ketua BEM Unpad menyoroti RUU Polri memberikan kewenangan yang luas kepada polisi namun minim pengawasan. Sebelumnya, kritik datang dari pakar hukum.


Pro - Kontra TNI Berbisnis, Bivitri Susanti: Langkah Mundur ke Zaman Sebelum Reformasi

48 hari lalu

Ilustrasi TNI. dok.TEMPO
Pro - Kontra TNI Berbisnis, Bivitri Susanti: Langkah Mundur ke Zaman Sebelum Reformasi

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mengkritik lemahnya pemerintah sebagai otoritas sipil dalam mengawasi anggota TNI berbisnis.


Pegiat Hukum Waswas RUU Polri Bakal Bungkam Suara Kritis

51 hari lalu

Polisi menghadang massa Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian yang tengah menggelar aksi damai, di kawasan CFD, Jakarta, Ahad, 30 Juni 2024. Ketika para massa aksi menyampaikan aspirasinya terhadap bahaya revisi UU Polri, aparat kepolisian mendatangi massa aksi. Tempo/Novali Panji
Pegiat Hukum Waswas RUU Polri Bakal Bungkam Suara Kritis

Pakar Hukum Tata Negara PSHK, Bivitri Susanti menilai RUU Polri menjadi alat politik yang membahayakan demokrasi.


Konsultasi Hukum dengan Hukumku Mudah dan Terjangkau

51 hari lalu

Aplikasi Hukumku Dok. Hukumku
Konsultasi Hukum dengan Hukumku Mudah dan Terjangkau

Menghadapi masalah hukum yang berbelit-belit membuat Anda membutuhkan bantuan ahli hukum terpercaya