TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Fajri Nursyamsi menilai kriminalisasi aktivis hak asasi manusia Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai kemunduran hukum. Fajri Nursyamsi menilai bahwa dakwaan terhadap Haris dan Fatia tidak sejalan dan mencederai komitmen dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkominfo, Jaksa Agung RI, dan Kapolri tentang implementasi atas pasal tertentu dalam UU ITE.
Dalam SKB tersebut, pasal yang didakwakan terhadap Haris dan Fatia yakni termasuk dalam kategori pasal tertentu yang tengah diupayakan pembatasan dalam penggunaannya. SKB mengamanatkan bahwa poin 3 huruf c pada Pasal 27 UU ITE tidak lagi diatur sebagai delik penghinaan dan atau pencemaran nama baik apabila muatan yang dibuat dan didistribusikan adalah hasil penilaian, pendapat, evaluasi, dan kenyataan.
“Pasal ini memang sudah lama menjadi perhatian, bahkan memang sudah diakui ada permasalahan,” katanya dalam acara diskusi bertajuk “Kriminalisasi Fatia & Haris: Suatu Tinjauan Interdisipliner” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera pada Kamis, 6 April lalu secara daring.
Fajri menyebut dalam kasus Haris dan Fatia, konteks dari konten yang dibuat adalah untuk membicarakan hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil terkait dimensi ekonomi dan politik dalam penempatan kekuatan militer di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. Fajri menilai bahwa konten yang dibuat dan didistribusikan masuk dalam kategori penilaian, pendapat, dan evaluasi sehingga tidak dapat dikenakan delik penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
Fenomena ini disebutnya sebagai preseden hukum yang apabila berulang dapat membatasi hak untuk berpendapat. Fajri juga menilai dakwaan ini sebagai langkah mundur mengingat Pasal 27 UU ITE merupakan salah satu pasal yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sesuai dengan KUHP Baru yang telah diundangkan.
Meski ketentuan tersebut baru akan berlaku tiga tahun sejak diundangkan, Fajri menegaskan bahwa ketentuan ini telah memiliki daya laku (validity). "Preseden hukum ini juga akan berpotensi merintangi proses transisi keberlakuan KUHP Baru," ujarnya dilansir dari laman Jentera.
Adapun Bivitri Susanti yang merupakan pengajar Jentera menegaskan kriminalisasi Haris dan Fatia menunjukkan bahwa penegakan hukum telah melenceng. Pada iklim demokrasi, sudah seharusnya publik memiliki hak untuk berpendapat bahkan mengkritik, sehingga pemerintah mendapatkan umpan balik agar bekerja lebih baik.
Terkait dengan hal tersebut, Bivitri menyarankan agar penguasa dapat membedakan dengan cermat apa yang dimaksud dengan kritik atau hinaan.
“Kalau misalkan dikatakan tuduhan, ya tuduhan, tapi tuduhannya bukan dua orang ini yang mengatakan. Melainkan mereka membahas sebuah studi. Jadi, kalau ada data yang salah, ya diperbaiki aja. Itu yang harusnya dilakukan,” ujarnya.
Adapun Sejarawan JJ Rizal menilai fenomena hukum ini sejalan dengan sistem hukum kolonial yang dikenal sebagai kebijakan Exorbitante Rechten, yaitu hak penguasa untuk menindak masyarakat yang menghalangi upaya penjajahan oleh pemerintah kolonial.
Baginya, kriminalisasi terhadap pengkritik yang kerap terjadi di Indonesia bukan hal yang aneh, karena masih adanya pewarisan basis hukum dari pemerintah kolonial.
“Kalau kita lihat sejarah, begitu banyaknya aturan yang kita warisi termasuk hukum-hukum yang kita sebut pasal karet yang bertentangan dengan demokrasi. Itu adalah produk dari sebuah sistem negara Hindia-Belanda,” paparnya.
Pilihan Editor: Seleksi Mandiri Unnes Jalur Prestasi Dibuka, Bisa Dapat Keringanan UKT