TEMPO.CO, Jakarta - Uji sampel gas menjadi kunci untuk bisa mengatasi semburan api di Rest Area 86B di Jalan Tol Cipali, Subang, Jawa Barat. Muncul sejak Rabu lalu, kobaran api yang terjadi di tengah pembuatan sumur artesis itu belum juga padam sampai dengan hari ini, Jumat 28 April 2023.
Menurut Bonar Tua Halomoan Marbun, dosen dari Kelompok Keahlian Teknik Pemboran, Produksi, Manajemen Minyak dan Gas di Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB), pengambilan sampel gas bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, pengambilan sampel sesuai dengan peralatan standar.
“Nanti gasnya diambil di lapangan kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi, bagaimana spesifikasi, komposisi, dan sebagainya,” kata Bonar, Kamis malam, 27 April 2023.
Bonar menyebut laboratorium yang bersertifikasi internasional misalnya di ITB dan Lemigas. Hasilnya bisa diketahui dalam 1-2 hari.
Api tentunya harus dipadamkan dahulu untuk mendapatkan sampel gas yang representatif. Problem inilah yang diungkap tim tanggap darurat dari Pusat Survei Geologi di Badan Geologi yang menyebutkan semburan api mencapai ketinggian sekitar 12 meter.
Cara kedua, menurut Bonar, menggunakan alat infrared yang diarahkan ke lingkungan sekitar semburan api dan gas. Hasil deteksinya kemudian akan langsung tampil di layar monitor. “Apa saja gasnya, komposisinya, titik nyalanya,” kata dia.
Pada kondisi tertentu yang memaksa, Bonar menambahkan, kedua cara pengambilan sampel gas itu digunakan sekaligus. Yang harus melakukan pengujian sampel gas itu adalah perusahaan yang melakukan penggalian, dan bisa dibantu oleh Badan Geologi, ITB, atau Lemigas.
Bonar menyarankan agar pengambilan sampel gas dilakukan secara periodik atau beberapa kali karena sifat tanah bisa berubah dengan sangat dinamis. Lokasi pengambilan sampelnya pun tidak hanya di satu tempat melainkan beberapa titik untuk membuat pemetaan sebaran gas.
Hasil pengujian sampel gas nantinya digunakan untuk upaya penutupan lubang semburan api dan gas secara permanen. Jika volume gas yang di bawah, bertekanan dan bertemperatur rendah, kata Bonar, bisa menggunakan semen biasa untuk penutupan lubangnya. "Sementara semen khusus dipakai pada kondisi tekanan dan temperatur gasnya tinggi," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, lokasi kemunculan semburan api masih dalam radius sekitar 2 kilometer dari sumur eksplorasi gas aktif milik Pertamina EP. Menilik kedalaman sumur bor artesis yang 40-100 meter, Bonar menduga ada kebocoran hidrokarbon dari sumur migas yang ada di sekitar lokasi kebakaran.
“Bisa jadi itu gas dangkal atau kemungkinan yang lain adalah hidrokarbon yang berasal dari area sumur migas yang ke luar dari lapisan migas di batuan yang sangat dalam dan berpindah ke permukaan,” tuturnya.
Adapun gas dangkal, menurutnya, bisa terbentuk karena proses pembusukan makhluk hidup yang mati di lapisan tanah yang dangkal selama puluhan sampai jutaan tahun kemudian membentuk gas metan atau CH4. Ketebalan atau kedalaman gas dangkal bisa berubah karena erosi atau sedimentasi, rata-rata antara 0-200 meter.
Selain kemunculan semburan api yang mengindikasikan adanya hidrokarbon, yang perlu diperhatikan juga soal potensi gas beracun. Gas CO2 dan SO2, kata Bonar, memang tidak punya potensi api seperti hidrokarbon tapi, “Konsentrasi kecil saja itu sudah cukup untuk membuat orang tidak sadar bahkan meninggal.”
Pilihan Editor: BPOM 'Bela' Kandungan Etilen Oksida di Indomie Rasa Ayam Bawang yang Dilarang di Taiwan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.