TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, mengungkapkan potensi terjadinya fenomena El Nino pada Agustus mendatang. Menurut dia, El Nino dapat berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan hingga kekeringan yang cukup luas di beberapa daerah.
Hal senada disampaikan oleh Organisasi pangan dan pertanian dunia atau FAO. Fenomena itu dapat menyebabkan kekeringan ekstrim di wilayah Amerika tengah, Afrika bagian Selatan, hingga Asia Timur termasuk di dalamnya Indonesia. FAO pun meminta agar negara-negara dapat mengantisipasi risiko yang akan muncul.
Pengamat Lingkungan Universitas Airlangga (Unair), Wahid Dianbudiyanto, menuturkan bahwa El Nino merupakan fenomena saat air laut di Samudera Pasifik lebih panas dari pada suhu biasanya. El Nino merupakan bagian dari fenomena yang lebih besar yaitu El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan bagian lainnya adalah La Nina.
“Jika hal itu merupakan peristiwa memanasnya suhu air di luar batas kewajaran di kawasan Samudera Pasifik maka La Nina merupakan peristiwa pendinginan air di luar batas kewajaran di area tersebut,” jelasnya dilansir dari laman Unair pada Kamis, 4 Mei 2023.
Penyebab terjadinya El Nino dan La Nina, jelas Wahid, adalah karena terjadinya Southern Oscillation, yaitu perubahan tekanan udara pada laut tropis Samudera Pasifik. Saat air laut di sisi tropis Samudera Pasifik memanas maka atmosfer di atasnya menurun tekanannya.
“Saat inilah terjadi perubahan pola tiupan angin yang dapat menyebabkan perubahan pola iklim, yang cenderung menghasilkan iklim yang cukup ekstrim,” ujar dosen di Teknik Lingkungan Unair itu.
Perubahan pola tersebutlah yang akhirnya meningkatkan potensi dampak El Nino dan La Nina di Indonesia. Permukaan air yang lebih hangat dapat meningkatkan kemungkinan hujan lebih tinggi. Hal itu karena perpindahan panas melalui media air dan udara meningkat sehingga peristiwa presipitasi atau turunnya air dari atmosfer ke bumi juga ikut meningkat.
“Hal ini berdampak pada meningkatnya intensitas hujan di Amerika Selatan seperti Peru dan Ekuador. Di sisi lain, Indonesia dan Australia mendapatkankan kekeringan dari peristiwa tersebut,” tambahnya.
Ia menyebut El Nino merupakan fenomena yang cukup sering terjadi. Pada 1982-1983 dan 1997-1998 merupakan tahun yang paling intens terjadi fenomena tersebut pada abad ke-20. Bahkan peristiwa pada 1997-1998 menyebabkan ketidakstabilan kondisi dunia, termasuk kekeringan di Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Berkaca dari pengalaman, menurut dia, mestinya pemerintah harus belajar untuk meminimalisir dampak yang akan timbul. Pemerintah dapat melakukan adaptasi dengan berkolaborasi dengan beragam pihak. Termasuk dengan melakukan edukasi dan kampanye. Selain itu, teknologi modifikasi hujan dapat dilakukan sehingga dapat membantu saat Indonesia dilanda kekeringan panjang.
“Misalkan pada tahun ini, El Nino akan datang ke Indonesia pada Agustus. Maka bisa kampanye untuk menyimpan sebanyak-banyaknya air pada reservoir-reservoir yang ada. Delapan tahun lalu, Indonesia kurang siap sehingga dampaknya cukup berat,” tuturnya.
Pilihan Editor: Antisipasi kecurangan UTBK 2023, UPNVJ Minta Pengawas Pantau Masker hingga Ikat Pinggang Peserta