TEMPO.CO, Jakarta - Wahid Umar, 52 tahun, riang bukan kepalang. Dilihatnya seekor kakatua putih terbang di atas kebun kelapa miliknya di Desa Gane Dalam, Kecamatan Gane Barat Selatan, Halmahera Selatan, Maluku Utara, pada Ahad sore, 26 Februari 2023.
Burung berjambul kuning itu sempat hinggap di ujung pohon kelapa, tak jauh dari tempat Wahid berdiri. Bak melepas rindu yang cukup lama, Wahid langsung bersiul untuk mengajak kakatua putih bernyanyi. “Dulu di sekitar sini hutannya lebat. Kalau sore banyak burung nuri dan kakatua putih terbang kemari,” katanya kepada Tempo menerangkan alasan di balik rasa senangnya itu.
Ya, itu dulu--hingga sekitar sepuluh tahun lalu. Saat itu banyak hutan primer telah dipapas dan areal dibuka untuk perkebunan kelapa sawit, Sejak itu pula kakatua putih juga nuri jarang terlihat di kejauhan, apalagi yang sampai bertandang ke kebun warga desa.
Padahal, bagi Wahid, suara berisik kakatua putih menambah gairahnya untuk bekerja membersihkan kebun dan ladang. “Suasana hutan terasa ramai,” tuturnya. “Kicauan yang sahut-menyahut bisa terdengar selama sekitar satu jam saban pagi dan petang,” katanya mengenang.
Kakatua putih (Cacatua alba) merupakan burung endemik Maluku Utara yang hidup antara lain di hutan primer dan sekunder di semenanjung selatan dan utara Pulau Halmahera. Berstatus dilindungi, kakatua putih jantan berukuran sekitar 48 sentimeter sedangkan si betina lebih kecil dengan ekor kuning yang lebih panjang.
Menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam atau IUCN, populasi kakatua putih terus turun dengan status konservasi terancam punah. Catatan yang disertakan: perburuan liar dan hilangnya habitat karena berubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan serta pertambangan merupakan ancaman terbesar bagi kakatua putih.
Kebun Sawit Sampai ke Halmahera
Kenangan Wahid dibentuk oleh PT Gelora Mandiri Membangun yang menghadirkan perkebunan kelapa sawit pertama di Halmahera Selatan. Perusahaan membuka kebun monokultur itu pada 2013 lalu berbekal izin Hak Guna Usaha dengan konsesi seluas 8.444 hektare.
Areal Kebun sawit PT Gelora meliputi Kecamatan Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan dan Kepulauan Joronga. Saat ini, perusahaan sawit satu-satunya itu sudah menanam di lahan seluas 5.447 hektare.
Dari atas bukit yang berjarak dua kilometer dari Desa Gane Dalam, karya PT Gelora tampak jelas berupa hamparan pokok-pokok sawit yang berbaris seragam. Sesekali, terlihat truk mengangkut puluhan karyawan lalu-lalang di jalan tanah yang membelah kebun sawit.
Sepanjang mata memandang, hanya ada pohon sawit. Tak ada lagi aneka pohon beragam ukuran dari berbagai jenis khas hutan primer yang bersisa.
Lahan perkebunan Sawit di Gane Timur, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa 23 Januari 2023. (FOTO/Budhy Nurgianto)
Laporan Global Forest Watch 2021 menyebutkan, selama 20 tahun terakhir Halmahera Selatan sudah kehilangan sedikitnya 51,8 ribu hektare hutan primer basah dengan tutupan pohon kategori rapat. Secara keseluruhan, daerah ini bahkan sudah kehilangan tutupan pohon seluas 77 ribu hektare, atau setara luas 108 lapangan sepak bola. Seluas 8 ribu hektare di antaranya hilang akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit.
Syafrudin, petani cabai dari Desa Gane Dalam, mengatakan, sejak ada perkebunan sawit, kawasan hutan dari Gane Dalam hingga Tanjung Joronga sudah dibuka secara besar-besaran. Populasi burung seperti kakatua dan nuri pun turun drastis.
“Sepuluh tahun lalu, di lokasi yang sekarang menjadi perkebunan sawit, suara burung kakatua dan nuri sudah bisa terdengar dari kejauhan. Banyak juga yang terbang bebas," kata Syafrudin sambil menambahkan, "Sekarang sudah jarang.”
Surga yang Susut
Penelitian dari Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Nuku Tidore menyebutkan bahwa kawasan hutan Gane, Halmahera Selatan, merupakan habitat bagi 252 spesies burung. Dari jumlah itu, sebanyak 26 merupakan jenis burung endemik Maluku Utara dan lima di antaranya hanya bisa ditemui di Pulau Halmahera.
Baca halaman berikutnya: Apa kata pemda dan perusahaan sawit?