TEMPO.CO, Jakarta - ChatGPT sebagai model bahasa alami canggih yang dikembangkan oleh OpenAI telah mengubah cara manusia berinteraksi dengan mesin. Kemampuannya untuk berkomunikasi dengan pengguna dalam bentuk percakapan alami telah memicu tantangan baru dalam dunia kecerdasan buatan.
Dosen pada Kelompok Keahlian Informatika, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB Ayu Purwarianti mengatakan ada beberapa risiko yang harus dipertimbangkan ketika memanfaatkan ChatGPT. Misalnya, seputar regulasi, isu plagiarisme, dan etika dalam pemanfaatan ChatGPT, khususnya dalam lingkup akademik.
“Sebenarnya ChatGPT bermanfaat membantu kita belajar, tapi memang harus berhati-hati akan tujuan kita menggunakannya. Jika mahasiswa disuruh bikin esai dengan tujuan supaya bisa memiliki kemampuan analisis yang lebih tinggi, serta lebih kritis dan kreatif maka jangan menggunakan ChatGPT. Silakan membuat essay dengan kalimat sendiri dan nanti dibandingkan dengan hasil ChatGPT,” ucap Ayu dilansir dari situs ITB pada Kamis, 18 Mei 2023.
Ayu mengingatkan mahasiswa untuk lebih bijak lagi dalam menggunakan ChatGPT sebagai alat untuk belajar. Musababnya, risiko ChatGPT juga sangat banyak. Resiko pertama yaitu, tidak akuratnya informasi dan jawaban yang diberikan oleh ChatGPT. Sehingga, diharapkan agar pengguna melakukan validasi atau mencari sumber lain yang lebih terpercaya dalam mencari suatu informasi.
"Risiko yang lain yaitu, terkait plagiarisme yang mana kita tidak tahu sumber data dan jawaban yang diberikan oleh ChatGPT. Sehingga untuk beberapa kasus yang terkait dengan hak cipta, seperti pembuatan buku dan copywriting, jangan memberikan ChatGPT untuk melakukan take over karena tetap tanggung jawab terakhir ada pada manusia," ujarnya.
Risiko selanjutnya juga dapat menimbulkan potential misuse, karena ChatGPT dapat ditanya untuk membuat kode program seperti jailbreak atau sesuatu yang memang untuk menelusuri security.
Tetapi, kata Ayu, dengan semua risiko yang ada, sangat sulit juga untuk menahan pengembangan Chat GPT. "Karena saat ini malah banyak orang yang berlomba-lomba dalam mengembangkan sesuatu seperti ChatGPT dengan harga yang lebih rendah," ujarnya.
Ayu mengatakan European Union (EU) menganggap ChatGPT sebagai sesuatu yang high risk dan di Indonesia sendiri belum ada aturan spesifik terkait penggunaan ChatGPT. Adapun UNESCO sendiri sudah memberikan rekomendasi terkait risiko penggunaan AI, tetapi kesiapan setiap negara berbeda-beda untuk dapat mengikutinya.
“Setiap institusi memiliki caranya sendiri dalam menyikapi ini,” kata dia.
Ayu menerangkan saat ini memang ada tools check plagiarism, tetapi untuk cek hasil dari ChatGPT cukup sulit karena target dari generator yaitu membuat text yang semirip mungkin dengan manusia. "Jadi, untuk melihat suatu text adalah buatan mesin atau manusia dari gaya tulisnya biasanya tidak berhasil," ujarnya.
Munculnya regulasi untuk mengatur penggunaan ChatGPT, kata Ayu, adalah langkah penting untuk menavigasi era baru interaksi manusia-mesin. Dengan mengadopsi regulasi yang tepat, menurut dia, dapat memanfaatkan potensi luar biasa ChatGPT sambil menjaga kepentingan dan keamanan pengguna.
Pilihan Editor: Dapat Beasiswa Bidikmisi, Rohman Jadi Wisudawan Terbaik Unpad Program Profesi Ners