TEMPO.CO, Jakarta - Sosiolog Universitas Gadjah Mada atau UGM, Arie Sudjito, mengatakan penyelenggaraan pemilu 2024 seharusnya bisa lebih baik dibandingkan pemilu sebelumnya. Sebab, kata dia, idealnya setiap penyelenggaraan pemilu memiliki terobosan baru, bukan sebaliknya seperti munculnya politik uang, depolitisasi, oligarki politik dan politik identitas.
Hal itu mengemuka dalam diskusi Pojok Bulaksumur bertajuk Pemilu 2024: Antara Penegakan Hukum dan Keberpihakan Ekonomi pada Jumat, 26 Mei lalu di selasar timur Gedung Pusat UGM.
Menurut Arie, dalam beberapa tahun belakangan ini, depolitisasi semakin menguat di kalangan antar-partai. “Depolitisasi melahirkan pemilu jadi agenda rutinitas. Mari kita kembalikan pertarungan antar partai itu bukan lagi konspirasi membentuk blok politik tapi bertarung ide dan gagasan,” kata Arie.
Arie mengkritisi KPU sebagai penyelenggara pemilu terjebak pada hal teknis dan prosedural, namun tidak menguatkan kualitas pemilu dengan melakukan edukasi ke calon pemilih muda, larangan politik uang hingga mencegah terjadinya kampanye politik identitas. “
Jika pemilu terus begini, yang terjadi hanya pergantian formasi, pergantian orang dan rutinitas. Pemilu kita terjebak pada rutinitas, terjebak pada teknokrasi,” paparnya.
Selain itu, Arie juga mengkritik bahwa partai selama ini tidak menguatkan perannya dalam melahirkan calon pemimpin berkualitas. Partai politik, kata Arie, malah berebut mencari aktor politik dari kalangan pengusaha atau mantan tentara yang berasal dari luar partainya.
“Seharusnya di era reformasi, peran partai itu menguat dalam melahirkan calon pemimpin bangsa. Elite politik kita harus keluar dari zona nyaman dari rutinitas pemilu ini,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Demokrasi Konstitusi dan HAM Fakultas Hukum UGM Yance Arizona menilai pemilu 2024 sepertinya tidak akan menjawab harapan masyarakat untuk menguatkan upaya pemberantasan korupsi.
Tidak hanya di tingkat partai, Yance juga menilai lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK sekarang ini dilumpuhkan perannya sebagai lembaga antirasuah di Indonesia. “Sekarang KPK sebagai punggawa pemberantasan korupsi tidak seperti dulu lagi, sudah kehilangan kemampuan untuk melakukan kontrol,” ujarnya.
Sedangkan ekonom senior FEB UGM, Dumairy, mengatakan keberpihakan politikus dan partai pada kelompok yang lemah seperti petani dan nelayan sangat sulit diwujudkan sepanjang transaksi politik uang antaracalon pemimpin dengan pemilih masih berlangsung.
”Kita tidak bisa berharap banyak apapun yang dikampanyekan caleg dan calon pemimpin. Kita masih terperosok dalam lubang yang sama dalam setiap pemilu,” katanya.
Pilihan Editor: Ada Jual Beli Ijazah di Kampus, Kemendikbud Tutup Sejumlah Perguruan Tinggi