Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Studi Baru Peringatkan Potensi Tsunami Raksasa dari Antartika Terulang Lagi

image-gnews
Zona Perlindungan Laut di Antartika
Zona Perlindungan Laut di Antartika
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Perubahan iklim dapat memicu longsor bawah laut di Antartika. Longsor kemudian melepaskan tsunami raksasa di samudera di Bumi bagian selatan. Potensi ini termuat dalam hasil studi yang dipublikasi dalam Jurnal Nature Communications yang terbit pada 18 Mei 2023.

Peringatan ini merupakan hasil penelitian dari kejadian masa lalu. Penelitinya melakukan pengeboran inti sedimen sedalam ratusan kaki di bawah dasar laut di Antartika. Hasilnya, mereka menemukan bahwa selama periode pemanasan global sebelumnya, 3 juta dan 15 juta tahun yang lalu, lapisan sedimen lepas terbentuk dan meluncur mengirim gelombang tsunami yang menuju ke pantai Amerika Selatan, Selandia Baru dan Asia Tenggara.

Para peneliti berpikir ada kemungkinan tsunami dapat terulang saat tren pemanasan global masa kini tak dapat dikendalikan dan perubahan iklim sekali lagi memanaskan lautan. Lewat penelitiannya itu mereka berharap bisa membantu meningkatkan pemahaman tentang bagaimana perubahan iklim global dapat mempengaruhi stabilitas kawasan.

"Longsor bawah laut adalah geohazard besar dengan potensi memicu tsunami yang dapat menyebabkan banyak korban jiwa," kata Jenny Gales, dosen hidrografi dan eksplorasi laut di University of Plymouth di Inggris. 

Para peneliti pertama kali menemukan bukti tanah longsor kuno di Antartika pada 2017 di Laut Ross Timur. Mereka menemukan ada yang terjebak di bawah tanah longsor ini berupa lapisan sedimen lemah yang dijejali fosil makhluk laut yang dikenal sebagai fitoplankton.

Setahun kemudian, para ilmuwan kembali ke daerah tersebut dan mengebor jauh ke dasar laut untuk mengekstraksi inti sedimen. Hasil yang terlihat pada silinder panjang dan tipis yang berasal dari kerak bumi yang menunjukkan, lapis demi lapis, sejarah geologis wilayah tersebut.

Dengan menganalisis inti sedimen, Gales dan timnya mengetahui bahwa lapisan sedimen lemah terbentuk selama dua periode. Pertama, sekitar 3 juta tahun yang lalu pada periode hangat pertengahan Pliosen. Kedua, kira-kira 15 juta tahun yang lalu, selama iklim optimal Miosen. 

Pada dua masa itu, perairan di sekitar Antartika tiga derajat Celsius lebih hangat daripada hari ini. Dampaknya, banyak ganggang yang mati lalu memenuhi dasar laut di bawahnya dengan sedimen yang licin. Tanah yang licin inilah yang membuat wilayah tersebut rentan terhadap tanah longsor.

"Selama iklim dingin dan zaman es berikutnya, lapisan licin ini ditutupi oleh lapisan tebal kerikil kasar yang dibawa oleh gletser dan gunung es," kata Robert McKay, Direktur Pusat Penelitian Antartika di Victoria University of Wellington, Selandia Baru, yang juga wakil kepala ilmuwan Program Penemuan Lautan Internasional Ekspedisi 374 — yang mengekstraksi inti sedimen pada 2018.

Dugaan Penyebab

Pemicu yang tepat untuk tanah longsor bawah laut masa lalu di kawasan itu tidak diketahui secara pasti. Walaupun demikian, para peneliti telah menemukan penyebab yang paling mungkin yaitu pencairan es gletser oleh iklim yang menghangat.

Berakhirnya periode glasial periodik Bumi menyebabkan lapisan es menyusut dan surut, meringankan beban pada lempeng tektonik Bumi dan membuatnya memantul ke atas dalam proses yang dikenal sebagai rebound isostatik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah lapisan sedimen lemah menumpuk dalam jumlah yang cukup, hulu benua Antartika memicu gempa bumi yang menyebabkan kerikil kasar di atas lapisan licin meluncur dari tepi landas kontinen — menyebabkan tanah longsor yang memicu tsunami.

Skala dan ukuran gelombang laut purba tidak diketahui. Tetapi para ilmuwan mencatat dua tanah longsor bawah laut yang relatif baru yang menghasilkan tsunami besar dan menyebabkan korban jiwa yang signifikan: Tsunami Grand Banks 1929 yang menghasilkan gelombang setinggi 13 meter dan membuat jatuh korban sekitar 28 orang di lepas pantai Newfoundland Kanada. Juga tsunami Papua Nugini tahun 1998 yang melepaskan gelombang setinggi 15 m yang merenggut 2.200 nyawa.

Waspada di Masa Mendatang

Dengan banyaknya lapisan sedimen yang terkubur di bawah dasar laut Antartika, dan gletser di atas daratan perlahan mencair, para peneliti memperingatkan bahwa - jika mereka benar bahwa pencairan gletser menyebabkannya di masa lalu - longsor dan tsunami di masa lalu dapat terjadi dan terulang lagi.

"Lapisan yang sama masih ada di landas kontinen luar - jadi 'siap' untuk lebih banyak longsoran ini terjadi, tetapi pertanyaan besarnya adalah apakah pemicu peristiwa tersebut masih berperan?" kata McKay.

Rebound isostatik memang sebagai pemicu potensial yang logis, tetapi bisa juga berupa kegagalan acak, atau perubahan iklim yang diatur dalam arus laut yang bertindak untuk mengikis sedimen di lokasi-lokasi utama di landas kontinen yang dapat memicu kegagalan lereng. "Ini adalah sesuatu yang dapat kami gunakan model komputer untuk menilai dalam studi masa depan."

SPACE, NATURE

Pilihan Editor: Saling Klaim Pemenang Rudal Kinzhal vs Patriot, Mana yang Benar?


Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


7 Peneliti Undip Masuk Daftar 2 Persen Ilmuwan Teratas di Seluruh Dunia yang Dirilis Stanford-Elsevier

2 jam lalu

Tujuh ilmuwan dari UNDIP berhasil masuk dalam daftar 2% Ilmuwan Teratas di Seluruh Dunia untuk tahun 2024 yang disusun oleh Universitas Stanford. Dok. UNDIP
7 Peneliti Undip Masuk Daftar 2 Persen Ilmuwan Teratas di Seluruh Dunia yang Dirilis Stanford-Elsevier

Tujuh ilmuwan Undip masuk dalam daftar 2 persen ilmuwan teratas di seluruh dunia 2024 yang dirilis Universitas Stanford dan Elsevier.


Di Tengah Perubahan Iklim, Bulog Sebut Metode Pertanian dan Distribusi Tradisional Tak Lagi Memadai

4 jam lalu

Petani menanam padi di area persawahan kering yang dialiri air memakai mesin pompa di kawasan Babelan, Bekasi, Jawa Barat, Selasa, 5 September 2023. BMKG memprediksi sejumlah wilayah Indonesia bakal berstatus waspada kekeringan sampai dengan November karena dipengaruhi oleh fenomene El Nino. TEMPO/Tony Hartawan
Di Tengah Perubahan Iklim, Bulog Sebut Metode Pertanian dan Distribusi Tradisional Tak Lagi Memadai

Direktur Bulog mengatakan ada kebutuhan mendesak untuk menyikapi produksi beras di tengah perubahan iklim.


Benarkah BMKG Mampu Modifikasi Cuaca, Bagaimana Caranya?

15 jam lalu

BMKG Kelas I Sultan Iskandar Muda bekerja sama dengan BNPB dan Smart Aviation melakukan operasi modifikasi cuaca untuk mencegah hujan intensitas tinggi ganggu pembukaan PON XXI Aceh-Sumut, di Banda Aceh, Senin 9 September 2024. Foto: BMKG
Benarkah BMKG Mampu Modifikasi Cuaca, Bagaimana Caranya?

BMKG yang memperoleh tambahan anggaran Rp 25 miliar untuk mendanai kegiatan modifikasi cuaca tahun depan. Bagaimana caranya?


Indonesia-PBB Luncurkan Laporan Tahunan Soal Pelaksanaan UNSDCF 2021-2025, Apakah Itu?

1 hari lalu

Laporan Hasil Tahunan PBB 2023 (Annual Result Report 2023). Foto : Pusat Informasi PBB (UNIC)/Ilham Dwi Wijaya
Indonesia-PBB Luncurkan Laporan Tahunan Soal Pelaksanaan UNSDCF 2021-2025, Apakah Itu?

Melalui Kementerian PPN/Bappenas, Indonesia dan PBB meluncurkan Laporan Hasil Tahunan pelaksanaan program pembangunan pemerintah 2021-2025.


BNPB Tekankan Pentingnya Penanggulangan Bencana yang Berkelanjutan

6 hari lalu

Gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). TEMPO/Martin Yogi Pardamean
BNPB Tekankan Pentingnya Penanggulangan Bencana yang Berkelanjutan

BNPB menekankan pentingnya diversifikasi dan upaya penanggulanan bencana yang berkelanjutan.


Paus Fransiskus Akhiri Perjalanan ke Asia Tenggara dan Oseania

7 hari lalu

Presiden Joko Widodo saat menyambut langsung kedatangan Yang Teramat Mulia Bapa Suci Paus Fransiskus dalam Misa Suci yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Kamis, 5 September 2024. Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr
Paus Fransiskus Akhiri Perjalanan ke Asia Tenggara dan Oseania

Paus Fransiskus mengakhiri lawatan ke Asia Tenggara dan Oseania selama 12 hari.


Potensi Gempa Megathrust Selat Sunda, Pemkab Bekasi Ikut Tingkatkan Kewaspadaan

9 hari lalu

Gempa mengguncang Selat Sunda, Banten, pada Rabu, 10 Mei 2023 pukul 11.24.49 WIB. (BMKG)
Potensi Gempa Megathrust Selat Sunda, Pemkab Bekasi Ikut Tingkatkan Kewaspadaan

Edaran dibuat meski wilayah Kabupaten Bekasi tak berbatasan dengan perairan Selat Sunda ataupun laut selatan Jawa, lokasi zona gempa megathrust


Sebanyak 120 Ribu Mangrove Akan Ditanam di Pesisir Pantai Sulawesi Barat

12 hari lalu

Penjabat Gubernur Sulawesi Barat, Bahtiar Baharuddin, melakukan penanaman mangrove di Kelurahan Bebanga, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, pada Sabtu, 7 September 2024. Foto/ANTARA-Humas Pemprov Sulbar
Sebanyak 120 Ribu Mangrove Akan Ditanam di Pesisir Pantai Sulawesi Barat

Selain menjadi bagian peringatan hari jadi Sulawesi Barat ke-20, kegiatan penanaman mangrove ini untuk menyokong wisata dan gerakan perubahan iklim.


Ketika Sri Mulyani Cemas Perubahan Iklim Gerus PDB sampai 10 Persen Tahun Depan

12 hari lalu

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani saat bertemu dengan Paus Fransiskus dalam acara dialog lintas iman, Kamis, 5 September 2024/Foto: Instagram/Sri Mulyani
Ketika Sri Mulyani Cemas Perubahan Iklim Gerus PDB sampai 10 Persen Tahun Depan

Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perubahan iklim dapat menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 10 persen pada 2025.


Menhan Singapura: Perlu Tindakan Korektif untuk Hadapi Perubahan Iklim

14 hari lalu

Senior Minister and Coordinating Minister for National Security H.E Teo Chee Hean menyampaikan paparan saat menjadi keynote speaker dalam Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Kamis, 5 September 2024. Paparan tersebut mengangkat terkait dengan ASEAN Sustainability Pathways. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Menhan Singapura: Perlu Tindakan Korektif untuk Hadapi Perubahan Iklim

Menhan Singapura menilai untuk menghadapi perubahan iklim diperlukan tindakan kolektif dan konsisten dari semua pemangku kepentingan