TEMPO.CO, Jakarta - Dunia maritim Indonesia sedang dihebohkan dengan kebijakan terbaru Presiden Joko Widodo dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pasalnya, Jokowi kembali mengizinkan ekspor pasir laut yang bisa menimbulkan ancaman bagi banyak daerah pesisir.
Susi Pudjiastuti turut mengomentari hal tersebut melalui akun Twitter. Menurut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu, kerugian lingkungan akan menjadi lebih besar akibat penambangan pasir laut yang tak terkendali. “Semoga keputusan ini dibatalkan. Climate change sudah terasa dan berdampak, jangan diperparah dengan penambangan pasir laut,” ungkap Susi pada Minggu, 28 Mei 2023.
Walau pemerintah berdalih bahwa PP 26/2003 tak ada kaitannya dengan pasir laut—melainkan sedimen, aktivitas pertambangan pasir laut sejatinya bukanlah polemik baru. Melansir dari walhi.or.id, ancaman kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir laut telah lama mengintai.
Misalnya pada 2017, pertambangan pasir laut di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan mengancam ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Hal ini memberikan efek domino terhadap produktivitas perikanan serta pendapatan nelayan. Penduduk setempat pun beramai-ramai melakukan aksi penolakan tambang pasir di sepanjang 35 kilometer pesisir pantai Takalar yang membentang dari Galesong Utara hingga Galesong Selatan.
Yang lebih baru, pada Januari 2022, warga tiga desa di Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis mulai mengalami gangguan sebab kegiatan pertambangan pasir yang sudah berlangsung sejak 2021 di pesisir utara Pulau Rupat. Mereka mengaku hasil tangkapan nelayan menjadi berkurang. Ekosistem laut pun menjadi rusak karena aktivitas tambang tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif WALHI Riau Evan Sembiring, dilansir dari walhi.or.id, penambangan pasir laut kian merusak biota laut, terumbu karang, hingga habitat dugong. Aktivitas tambang juga memperparah abrasi di Pulau Beting Aceh, Pulau Babi, dan seluruh Pulau Rupat Utara. Bahkan, bagian utara Pulau Rupat terancam tenggelam.
Berdampak Global
Selain dampak lokal, aktivitas pertambangan pasir laut juga memiliki dampak global yang bisa dibilang cukup signifikan. Dalam artikel opini ilmiah “The Global Impact of Sand Mining on Beaches and Dunes” pada jurnal Ocean & Coastal Management per 15 Maret 2023, Nelson Rangel-Buitrago dari Universitas Atlantico, Kolombia menyoroti kompleksitas dan dampak buruk penambangan pasir laut beserta tingkat keparahan dan urgensi masalah tersebut.
Pantai dan bukit pesisir selalu memasok pasir untuk berbagai keperluan. Volume yang diekstraksi terus bertambah dari hanya sebatas ember, gerobak dorong, hingga muatan truk pikap. Namun, mulai akhir abad ke-20, pasir pantai telah ditambang dalam skala yang jauh lebih besar demi pembangunan perkotaan. Menurut weforum.org, permintaan penambangan pasir laut meningkat tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, mencapai 50 miliar ton per tahun pada 2019. Dua pendorong terbesarnya adalah penggunaan sebagai agregat beton dan sebagai pasir pengisi untuk rekonstruksi pantai guna melindungi properti pesisir.
Pada 2100, diproyeksikan bahwa 85 persen populasi dunia akan tinggal di tengah kota. Untuk menampung sekian banyak orang itu, penambangan pasir industri atau ekstraksi agregat—di mana pasir dan kerikil dikeluarkan dari dasar sungai, danau, samudra, dan pantai untuk digunakan dalam konstruksi—terjadi dengan sangat cepat daripada bahan yang dapat diperbarui. Itu kemudian memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan.
Kurangnya pasir dari ekosistem sungai dan laut menyebabkan dampak lingkungan yang signifikan, termasuk erosi, delta yang menyusut, perubahan tata guna lahan, polusi udara, salinisasi akuifer pesisir dan cadangan air tanah, serta ancaman terhadap perikanan dan berbagai keanekaragaman hayati. Bahkan, penambangan pasir di delta sungai dapat meningkatkan risiko bencana terkait iklim karena tak cukup sedimen untuk mencegah banjir.
Selain kerusakan lingkungan, dampak langsung penambangan pasir laut juga berada di ranah sosial dan ekonomi. Secara global, sebagian besar kegiatan pertambangan pasir laut bertentangan dengan pendapat dan undang-undang setempat, menimbulkan korupsi di banyak masyarakat pesisir. Penambangan semacam itu juga menjadi dasar terbentuknya mafia pasir rawan kekerasan yang membela “ilegalitas” aktivitas tersebut.
Selaras dengan pernyataan Program Lingkungan PBB (UN Environment Programme atau UNEP), ekstraksi dan pengelolaan pasir tidak diatur di banyak negara. Pemerintah maupun perusahaan mengonsumsinya lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh proses geologis. Oleh karena itu, perlu tindakan mendesak untuk mencegah “krisis pasir”
Terdapat syarat kebutuhan yang sangat besar akan kebijakan global yang mampu berdampak nyata pada pengurangan penambangan pasir laut dan dampaknya terhadap ekosistem pesisir. Ini juga termasuk solusi baru untuk mengurangi konsekuensi tambahan. Setiap strategi pengelolaan untuk mengatasi penambangan pasir laut harus dimulai dengan memahami proses yang mendasarinya: Siklus hidup pasir dan jaringan pasokan pasir pesisir.
Solusi masa depan harus memprioritaskan penggunaan agregat alternatif, perubahan teknik konstruksi, dan kembali kepada konsep “hak pasir”—seperti hak atas air, ketergantungan hilir pada sumber daya pasir harus dihormati. Pendekatan ini membutuhkan pengelolaan kawasan terpadu antara regulator lepas pantai, masyarakat pesisir, dan daerah aliran sungai terkait yang merupakan sumber pasir di hulu.
Apa yang Bisa Dilakukan untuk Menghindari Krisis Pasir?
Sementara tekanan pada pemerintah untuk mengatur penambangan pasir semakin meningkat, lebih banyak yang harus dilakukan untuk menemukan alternatif penggunaan pasir dalam aktivitas konstruksi. Laporan Sand and Sustainability UNEP tahun 2022 menguraikan 10 rekomendasi yang bisa menyeimbangkan tuntutan industri konstruksi dan perlindungan lingkungan:
- Kenali pasir sebagai sumber daya strategis yang memberikan layanan ekosistem kritis dan menopang pembangunan infrastruktur penting dalam memperluas kota-kota secara global.
- Sertakan perspektif berbasis tempat hanya untuk transisi pasir, memastikan suara semua orang yang terkena dampak adalah bagian dari pengambilan keputusan, penetapan agenda, dan tindakan.
- Aktifkan pergeseran paradigma ke masa depan yang regeneratif dan sirkular.
- Mengadopsi kerangka kebijakan dan hukum yang strategis dan terintegrasi secara horizontal, vertikal, dan interseksional, selaras dengan realitas lokal, nasional, dan regional.
- Tetapkan kepemilikan dan akses ke sumber daya pasir melalui hak dan persetujuan mineral.
- Petakan, pantau, dan laporkan sumber daya pasir untuk pengambilan keputusan yang transparan, berbasis sains, dan berbasis data.
- Tetapkan praktik terbaik dan standar nasional, beserta kerangka kerja internasional yang koheren.
- Promosikan efisiensi dan sirkularitas sumber daya dengan mengurangi penggunaan pasir, menggantinya dengan alternatif yang layak, dan mendaur ulang produk yang terbuat dari pasir jika memungkinkan.
- Tambang pasir secara bertanggung jawab melalui proses pengadaan secara aktif, etis, berkelanjutan, dan sadar sosial.
- Pulihkan ekosistem dan kompensasi kerugian yang tersisa dengan memajukan pengetahuan, mengarusutamakan hierarki mitigasi, dan mempromosikan solusi berbasis alam.
Pilihan editor: Apakah Mengeruk Pasir Laut Dapat Merusak Lingkungan? Begini Dampaknya
SYAHDI MUHARRAM