TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang pemilihan umum pada Februari 2024, publik tengah membicarakan soal sistem proporsional tertutup yang disebut-sebut akan menggantikan sistem proporsional terbuka. Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Sri Budi Eko Wardani menjelaskan bahwa sejak pemilu pertama pada 1955 hingga saat ini, Indonesia menganut sistem pemilu proporsional tersebut.
Hal ini karena pertimbangan keragaman dan kemajemukan masyarakat Indonesia yang cenderung memiliki banyak partai, sehingga sistem proporsional dianggap lebih tepat. Menurut Wardani, sistem proporsional terbuka memiliki kelebihan dalam menyampaikan aspirasi pemilih daripada elite partai.
“Kelebihan dari sistem ini, memang ada hubungan yang terbangun antara pemilih dengan caleg yang dipilih. Lalu, dalam sistem ini juga aspirasi pemilih lebih menentukan siapa yang terpilih, namun dalam sistem tertutup ditentukan oleh aspirasi elit partai,” ujar Wardani dalam rilis yang diterima Tempo pada Rabu, 7 Juni 2023.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, secara teknis dalam penerapan sistem proporsional tertutup, orang hanya dapat memilih tanda gambar partai. Sistem ini berlaku sejak masa orde baru dari 1971 sampai dengan 1997. Saat itu, jumlah partai dibatasi hanya tiga.
Pada sistem ini, daftar caleg tidak ditampilkan dalam surat suara, tetapi hanya diumumkan di tempat pemungutan suara (TPS). Nantinya, mereka yang terpilih adalah berdasarkan nomor urut yang ditentukan oleh mekanisme di internal partai.
Dia menambahkan, selalu ada perdebatan dalam setiap isu revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Misal, pada 2017 ada kelompok yang pro dengan sistem proporsional tertutup, namun ada juga yang pro dengan sistem proporsional terbuka.
“Tapi menurut saya, keputusan ini tidak bisa diputuskan di tengah jalan. Tunggu saja sampai pemilu 2029 dengan revisi UU Pemilu, karena saat ini situasinya daftar caleg sudah masuk ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) maka akan merugikan caleg itu sendiri terutama caleg perempuan yang jumlahnya tidak sebanyak caleg laki-laki,” katanya.
Pada masa orde baru yang menerapkan sistem proporsional tertutup, ada mobilisasi dari partai politik untuk memilih partai tertentu tanpa kenal siapa caleg yang akan terpilih. Saat itu, partai tidak terbuka dan tidak memiliki kewajiban untuk mempublikasikan nama calegnya.
Lantas, sistem pemilu proposional terbuka dilakukan untuk mengurangi mobilisasi dan dominasi dari partai tertentu, seperti yang sudah terjadi pada zaman orde baru.
“Saya pribadi melihat sistem pemilu proporsional terbuka masih penting saat ini. Hal ini untuk mendorong reformasi partai politik karena kekuatan elite partai dominan sangat kuat dan mampu meminggirkan kandidat caleg yang memilki potensi,” ungkapnya. "Jadi, dalam konteks demokrasi Indonesia saat ini, dari sisi kemampuan pemilih dalam menentukan pilihannya, maka kedaulatan rakyat itu ada pada sistem proporsional terbuka.”
Pilihan Editor: Nasib Mahasiswi di STMIK Tasikmalaya yang Kampusnya Ditutup, Kuliah S1 tapi Terdaftar di D3