TEMPO.CO, Jakarta - Pencabutan izin operasional puluhan kampus swasta oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menyisakan sejumlah masalah. Salah satu kampus yang ditutup adalah Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer atau STMIK Tasikmalaya. Kampus itu ditutup pada Maret lalu.
Perwakilan mahasiswa STMIK Tasikmalaya itu menyambangi kantor Kementerian Pendidikan di Jakarta pada Rabu, 7 Juni lalu. “Kementerian jangan hanya menutup lalu pergi istilahnya begitu,” kata Mahasiswa S1 Teknik Informatika STIMIK Tasikmalaya Fikri Anwar Rafdillah kepada Tempo pada Rabu malam,7 Juni 2023.
Bersama anggota DPRD dan Dinas Pendidikan Tasikmalaya, delapan mahasiswa dari kampus tersebut bertemu dengan Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Lukman.
Dalam pertemuan itu, para mahasiswa menyebutkan beberapa masalah yang terjadi setelah kampus ditutup. “Masalah itu mulai dari pemberkasan data mahasiswa, pembiayaan kuliah, dan keberlangsungan perkuliahan mahasiswa,” ujar Fikri yang merupakan eks Presiden Mahasiswa STMIK Tasikmalaya.
Pemberkasan data mahasiswa oleh pihak kampus untuk divalidasi dan diverifikasi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah 4 Jawa Barat dan Banten, menurutnya, hampir 80 persen tuntas terhitung sejak tiga bulan lalu. Beberapa data mahasiswa masih ada yang belum tervalidasi dan belum dimasukkan datanya oleh kampus yang ditutup.
Kemudian, soal pembiayaan uang kuliah. Mereka meminta agar pemerintah turun tangan membantu biaya kuliah mahasiswa yang terdampak. Dari hasil pendataan yang masih terus berlangsung, sedikitnya ada 130 mahasiswa yang putus kuliah setelah izin STMIK Tasikmalaya dicabut pemerintah. Penyebabnya, terkendala biaya.
Jumlah mahasiswa yang terdampak penutupan STMIK Tasikmalaya sekitar 800 orang. Namun, berdasarkan pencarian informasi dan data, kata Fikri, jumlahnya sekitar 650 orang. Sebagian pindah dan mendaftar ke tiga kampus swasta sesuai jurusannya yaitu D3 Komputer Akuntansi atau S1 Teknik Informatika.
Besaran uang kuliah per semester di tiga kampus itu beragam, ada yang lebih murah dan lebih mahal dari sebelumnya, seperti S1 sebesar Rp 3,7 juta. “Walaupun ini bukan tanggung jawab Kementerian, tapi kami mau mengadu ke siapa lagi?” kata dia.
Masalah lain terkait keberlanjutan perkuliahan, khususnya kalangan mahasiswa tingkat akhir yang berjumlah sekitar 150 orang di D3 dan S1. Kuliah Fikri misalnya, masih menyisakan tiga mata kuliah di semester akhir termasuk skripsi. Namun, di kampus barunya, dia harus menambah dua semester lagi.
Aturan itu, setahunya, berlaku bagi mahasiswa pindahan. “Minimal kalau ingin keluar penomoran ijazah nasional harus dua semester, itu merugikan kami di segi waktu dan uang,” katanya.
Soal biaya tambahan dua semester itu, menurut Fikri, Kementerian menyarankan mahasiswa agar mendorong yayasan kampus bertanggung jawab. "Jika tidak dapat bertanggung jawab, disarankan lapor ke pihak yang berwajib," ujarnya. “Hasil pertemuan dengan Dikti memang tidak ada solusi, tapi katanya mereka bersedia datang ke Tasikmalaya untuk audiensi minggu depan".
Pilihan Editor: Mahasiswa ITB Meninggal Saat Uji Coba Pesawat Nirawak, Kampus Lakukan Investigasi