“Biosensor adalah ouput yang kami unggulkan,” kata Pratondo Busono, Kepala Bidang Teknologi Rekayasa Biomedika di Pusat Teknologi Farmasi dan Medika, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Rabu (6/5)siang. “Kebutuhan biosensor yang sekali pakai dalam dunia medis sangat besar,” katanya lagi.
Pratondo menerangkan, prototipe biosensor yang sudah ada bisa mendeteksi kolesterol, glukosa, asam urat, ataupun ketiganya secara sekaligus alias multideteksi biosensor. Satu industri, doktor pencitraan biomedika dan sensor itu mengungkapkan, telah tertarik. “Mereka meminta sensor dibuat lebih fancy seperti telepon genggam yang bisa dimasukkan ke dalam saku. Kami bilang, 'Tidak ada masalah'.”
Selain biosensor, Pratondo dan rekan-rekannya di Pusat Teknologi Farmasi dan Medika, BPPT, juga mengembangkan alat medis lainnya seperti ultrasonogafi (USG), PC USG, sistem pemonitor pasien, elektrokardiografi, dan alat uji USG. Semuanya dikembangkan sendiri dan sejatinya bisa menghemat biaya pembelian alat serupa industri medis nasional dari luar negeri hingga sepertiga.
Pratondo menuturkan, penghematan itu penting karena angka kebutuhan alat medis tiap tahun yang terus tumbuh, terutama untuk disposable biosensor. Peningkatan kebutuhan itu tiap tahunnya mencapai 13 persen atau senilai lebih dari Rp 3 triliun. Sebanyak 85 persen kebutuhan itu setiap tahunnya dipenuhi dengan cara impor.
“Prototipe yang kami hasilkan tinggal dikembangkan industri nasional sehingga mereka bisa buat sendiri dengan biaya riset yang otomatis sudah ditekan,” katanya.
Ke depan, Pratondo mengarahkan kegiatan pusat penelitian yang dipimpinnya itu untuk memperoleh label ISO. Mereka juga sedang mengerjakan detektor virus dengue berbasis protein rekombinan dari teknologi rekayasa genetika. “Riset detektor ini sedang berjalan,” kata Pratondo.
(WURAGIL)