TEMPO.CO, Jakarta - Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Bantul Yogyakarta menciptakan beragam kerajinan bernilai ekonomi dan mengandung estetika dari limbah serbuk kayu. Inovasi ini dihadirkan oleh Ria Az-Zahra Ghoiru Nisa dan Salwa Dini Latifah dalam Expo Festival Inovasi dan Kewirausahaan Siswa Indonesia atau FIKSI 2023 di Smesco Jakarta, Rabu, 27 September 2023.
Ria dan Salwa merasa prihatin melihat di sekitar lingkungannya banyak usaha kerajinan kayu, namun limbahnya belum dimanfaatkan secara optimal. "Limbah tersebut hanya dibakar dan menyebabkan polusi udara. Bahkan, hanya ditimbun saja," ujar Ria.
Mereka memulai proses pengembangan produk berbahan limbah serbuk kayu pada Januari lalu. Usai berdiskusi dengan guru pembimbing, mereka langsung mendatangi pengrajin-pengrajin kayu terdekat untuk menjalin kerja sama.
"Ternyata mereka juga mengalami kesulitan dalam mengelola limbah tersebut. Jadi, kami bekerja sama dengan mereka untuk mengolahnya," kata Ria.
Tim dengan merek usaha Diwangkara Craft ini menjalin kerja sama dengan kurang lebih 20 pengrajin kayu. Memang di sekitar lingkungan mereka terdapat banyak usaha kerajinan kayu.
Hasil kerajinan yang diproduksi berupa hiasan lampu, guci, hiasan magnet kulkas, gantungan kunci, puzzle, dan kotak permainan trick act boom. Penyelesaian setiap produk pun berbeda, tergantung tingkat kesulitannya.
Misalnya guci, tim membutuhkan waktu sekitar 3 hari hingga selesai diproduksi. Pertama, tim membuat desain bentuk dan motifnya. Lalu, serbuk kayu dipilah dan dipisahkan antara yang halus dan kasar. Sebab, kualitas produk akan kurang maksimal jika tekstur serbuk kayu terlalu jauh berbeda.
Bahan baku pun mulai diolah menjadi adonan dengan menambahkan lem dan sedikit semen putih. Penambahan semen putih bertujuan agar adonan lebih kokoh dan cepat kering. Adonan kemudian dicetak dan dijemur selama 5 jam di bawah sinar matahari langsung.
Begitu produk kerajinan kering, harus melewati proses pengecekan kualitas atau quality control. Tujuannya, memastikan apakah produk sudah kokoh dan layak dijual. Sedangkan proses finishing menggunakan teknik decoupage atau menghias melalui potongan kertas yang ditempelkan di permukaan benda.
Motif yang dipilih bernuansa Yogyakarta guna mengedepankan potensi daerah. Pada prosesnya, Ria dan Salwa menggunakan gambar yang dicetak langsung, bukan lukisan manual.
"Karena motifnya akan lebih detail. Kalau dilukis, belum tentu akan sedetail itu," ujar Salwa.
Terakhir, tahap pengemasan. Sebagai pengganti bubble wrap, tim memilih kulit jagung sebagai alternatif. Satu guci dipatok dengan harga sekitar Rp 70 ribu.
Pilihan Editor: Sneakers Batik Nusantara, Tampil Modis Sambil Lestarikan Budaya ala Siswa SMK Budi Mulia 2 Yogya