TEMPO Interaktif, Cibinong: Virus flu H1N1 dari babi bukanlah satu-satunya spesies asing meresahkan yang datang dari Meksiko. Di Indonesia, ada beberapa spesies lain seperti ikan kepala buaya, pohon akasia nilotica, dan kutu pepaya Paracoccus marginatus. Setidaknya itu yang terungkap dalam temu wicara wartawan dengan beberapa peneliti di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jumat lalu.
Namun, ini bukan soal Meksiko-nya. Ini adalah soal daftar panjang spesies asing yang menjelma invasif yang meresahkan para peneliti biologi di Hari Keanekaragaman Hayati Dunia yang jatuh pada Jumat lalu. Tahun ini perayaan memang mengangkat tema "Invasive Alien Species". Spesies-spesies itu bisa menyebar cepat menumpang praktek perdagangan bebas atau mekanisme pasar global, turisme, dan terakhir tapi bukan yang terkecil, perubahan iklim.
Untuk kasus ikan kepala buaya, akasia, dan si kutu pepaya, semuanya terindikasi, bahkan terbukti invasif. Sebagian karena berpotensi menggusur spesies endemik (dampak ekosistem), yang lain sampai menimbulkan dampak kerugian ekonomi.
Renny K. Wadiaty, peneliti di laboratorium iktiologi mengungkapkan, ikan kepala buaya Lepisus peus bisa tumbuh dewasa sampai ratusan kilogram hingga mendominasi sebuah habitat perairan yang dimasukinya. Terlebih perilaku makannya yang omnivora dan cenderung karnivora. "Kulitnya keras dan telurnya toksik. Tidak ada ikan lain yang sudi menjadi predator untuknya," kata Renny.
Ikan jenis ini sudah membuat geger warga di Bogor ketika ditemukan di antara luapan Sungai Ciapus pada Februari 2005. Tahun lalu ikan jenis ini "sudah sampai" Bandung, tepatnya muara Sungai Cikapundung di Desa Mekarsari, Kecamatan Bojongsoang. Ikan aneh, begitu kabar yang tersiar saat itu.
Siti Nuramaliati Priyono, Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI menegaskan bahwa tidak semua spesies asing merusak ekosistem lokal. Banyak contoh spesies impor yang bermanfaat lewat budidaya yang terkerndali seperti padi, cokelat, karet, singkong, ikan mas, nila, dan lele dumbo. "Ikan kepala buaya ini pun ketika masih ada dalam akuarium tidak menjadi masalah," katanya.
Masalahnya, Siti--atau yang lebih biasa dipanggil Lili--menambahkan, banyak praktisi yang tidak memperhatikan dampak spesies asing yang bisa menjelma invasif ketika diintroduksi atau tidak sengaja terlepas ke sebuah habitat alami atau semialami. Lili mengaku belum punya data lengkap, tapi di Amerika Serikat, ia mengungkapkan, invasi spesies asing sudah menjadi ancaman nomor dua setelah perubahan habitat terhadap kekayaan keanekaragaman hayati lokal.
Spesies asing di negeri itu menyebabkan sekitar 50 persen kemusnahan spesies lokal, melampaui tingkat ancaman yang datang dari polutan, lewat perannya sebagai kompetitor, predator dan parasit. "Di Indonesia mungkin eksploitasi yang berlebih yang menjadi ancaman terbesar," kata Lili sambil cepat menambahkan, "Tapi kita tentu tidak ingin ancaman invasi spesies asing di Indonesia telanjur berkembang seperti di Amerika."
Bukan cuma spesies yang datang dari luar negeri yang harus diantisipasi secara hati-hati, tapi juga yang dibawa pindah antarpulau. Untuk kasus yang kedua ini, Rosichon Ubaidilah, ahli taksonomi, dan Ibnu Maryanto, peneliti zoologi, bersama-sama mengutarakan contoh introduksi monyet ekor panjang serta rusa merah di Papua. Kedua spesies tidak memiliki predator di pulau yang baru lalu berbiak cepat hingga yang satu memakan telur-telur cenderawasih sedang yang lain menekan populasi kanguru pohon khas Papua. "Papua Nugini berulang kali memprotes Indonesia terkait dampak spesies-spesies introduksi di Papua," kata Rosichon.
Kalau sudah begitu, tentu kebijakan karantina saja tidak cukup karena hanya mengendalikan penyakit. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 buah ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati 1994 sebenarnya lebih tepat, sayang terbukti tak mempan karena alasan yang sangat klasik: tak ditegakkan.
Bahkan, Renny mengungkapkan, setahun yang lalu ia harus menyiapkan presentasi yang mengingatkan kembali potensi bahaya ikan kepala buaya ini sebagai sebuah spesies asing demi bisa mempertahankan sebuah surat keputusan menteri bertahun 1982 yang melarang masuknya jenis ikan ini. "Waktu itu alasannya karena sudah banyak petani budidaya ikan jenis ini," katanya.
Setahun berselang, Renny mengaku tak tahu lagi kabar tentang SK itu. Ia mengaku takut sekali membayangkan ikan-ikan kepala buaya itu apabila sampai lolos dalam skala yang lebih luas daripada yang ditemukan di Bogor dan Bandung. "Bisa habis ikan-ikan Indonesia," katanya.
"Itu sebabnya kami ingin ada semacam National Institute of Invasive Species Science," kata Lili menambahkan.
***
Sunaryo adalah peneliti lain yang menjadi saksi mata untuk beberapa jenis flora asing invasif di Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat. Sepanjang paruh kedua April lalu dia menggelar studi dengan membuat plot seluas 0,2 hektare masing-masing di ketinggian 1.200 dan 1.500 meter di atas muka laut di taman nasional itu.
Ia membuktikan bahwa spesies-spesies seperti Eupatorium sordidum Less dan Eupatorium riparium Reg (keduanya jenis bunga aster asal Meksiko) sangat dominan dan berpotensi menggusur spesies-spesies lokal. Terutama jenis yang pertama, Sunaryo menduga keberadaannya di Gede-Pangrango tidak alami alias sengaja diintroduksi. "Bentuknya bagus dan banyak sekali tumbuh di pinggir trek pendakian," katanya.
Total Sunaryo menemukan lima jenis flora asing invasif dalam dua plot penelitian yang dibuatnya itu. Jenis-jenis itu sukses mengucilkan spesies lokal semacam pohon Rasamala. "Bunga aster sangat mudah menyebar dengan bantuan angin," Sunaryo menjelaskan, "Dan Eupatorium sordidum adalah tanaman rendah yang sangat rimbun atau rapat. Perdu lain atau biji Rasamala yang jatuh dari pohonnya tak akan punya kesempatan untuk tumbuh."
Dampak yang lebih parah sudah terjadi di Taman Nasional Baluran di Situbondo, Jawa Timur. Di sana, Rosichon mengungkapkan, pohon jenis akasia nilotica sudah mendominasi sampai 50% areal savana dengan laju pertumbuhan 100-200 hektare per tahun. "Mereka (Taman Nasional Baluran) kelihatannya sudah menyerah untuk bisa mengendalikannya," katanya. Dia menambahkan, upaya pencabutan pohon dengan buldoser tetap saja masih menyisakan tuna-tunas baru. "Dibakar juga tidak bisa karena pohonnya tahan api."
Dampak terbaru dari ulah spesies asing diamati Rosichon pada tanaman hias di Bogor. Kutu-kutu Paracoccus marginatus. yang pernah mengobrak-abrik sentra pepaya di kota yang sama ternyata ketahuan hinggap di tanaman hias di pinggir jalan. Ia pernah melihat langsung beberapa pemilik usaha tanaman hias (di Bogor) yang sudah sibuk menyemprotkan obat pembasmi kutu-kutu itu.
"Hal-hal seperti ini kelihatannya sederhana, tapi dampak ekonominya luar biasa," kata Rosichon merujuk biaya tambahan yang dikeluarkan setiap petani kalau harus membeli insektisida. "Belum lagi dampak ekosistemnya karena hilangnya satu spesies pasti akan mempengaruhi spesies lainnya."
WURAGIL