Temperatur air di beberapa tempat di perairan sekitar Pulau Ofu di Samoa Amerika mencapai 35,5 derajat Celsius, bahkan fluktuasi harian bisa melonjak lebih dari 6 derajat Celsius. Dengan temperatur setinggi itu, semestinya tak ada karang yang bisa hidup di perairan Pasifik Selatan itu, namun Pulau Ofu justru terkenal dengan terumbu karangnya. Lebih dari 100 spesies koral bisa ditemukan di perairan yang selalu hangat itu.
Keberadaan terumbu karang yang bertahan hidup di atas ambang batas koral lainnya itu menarik perhatian sejumlah ilmuwan dari Stanford University, Amerika Serikat. Karang tersebut adalah bukti tak terbantahkan bahwa beberapa terumbu karang mampu beradaptasi dan mungkin pada akhirnya akan selamat dari pemanasan global yang terjadi saat ini. "Koral terancam punah karena perubahan iklim yang terjadi, namun riset ini telah membangkitkan gagasan bahwa karang mungkin jauh lebih kuat daripada dugaan kita," kata Stephen Palumbi, dosen biologi dan seorang fellow senior di Woods Institute for the Environment di Stanford University.
Penemuan koral tahan panas ini jelas mengobarkan harapan baru bagi pelestarian terumbu karang. Beberapa waktu lalu, para pakar lingkungan menyatakan bahwa lebih dari separuh terumbu karang dunia akan lenyap dalam 50 tahun mendatang. Mereka memperkirakan penyebab utama musnahnya koloni karang itu adalah meningkatnya temperatur samudra akibat perubahan iklim.
Palumbi dan tim ilmuwan Stanford University lainnya mulai mempelajari kemampuan terumbu karang di Samudra Pasifik untuk pulih dari tekanan lingkungan yang ekstrem pada 2006. Mereka memperoleh dukungan dana hibah dari Woods Institute Environmental Venture Project. Proyek lanjutannya kini disokong oleh Conservation International dan program Bio-X di Stanford.
"Yang paling menarik adalah menemukan koral hidup dan sehat di terumbu karang yang sudah sama panasnya dengan suhu samudra 100 tahun dari sekarang," kata Palumbi, Direktur Hopkins Marine Station di Stanford University. "Bagaimana mereka bisa melakukannya?"
Ternyata jawabannya terletak pada simbiosis yang saling menguntungkan antara koral dan alga bersel tunggal yang disebut zooxanthellae. Hubungan keduanya mirip sebuah "perkawinan", koral menyediakan tempat tinggal dan perlindungan, sedangkan sebagai gantinya, alga menyediakan makanan bagi karang tersebut.
Sayangnya, keharmonisan hubungan itu terganggu ketika kenaikan temperatur laut membuat alga menjadi stres dan mogok menyajikan makanan. "Perceraian" pun tak terelakkan, koral pun mengusir alga dari rumah. Tanpa alga pasangan simbiosisnya, karang akan mati dan pada akhirnya memutih. Peristiwa itu disebut sebagai coral bleaching.
Selama tahun-tahun hangat yang terjadi sekarang, bleaching dianggap sebagai penyebab utama kematian sebagian besar karang di dunia. Global Coral Reef Monitoring Network menunjukkan bahwa gelombang panas yang terjadi di Karibia pada 2005 telah menyebabkan lebih dari separuh karang hidup di perairan itu memutih dan banyak di antara koral tersebut yang belum bisa memulihkan diri.
Beberapa tahun belakangan, para ilmuwan menemukan bahwa sejumlah koral berhasil menghindari bleaching dengan menjadi tuan rumah bagi alga yang mampu mengatasi panas. Beberapa karang lainnya justru menukar pasangannya, dari alga yang stres terhadap panas dengan strain yang lebih kuat dan resistan terhadap panas.
Tim Palumbi telah melakukan investigasi seberapa luas penyebaran terumbu karang yang toleran terhadap panas ini di semua samudra di dunia. Mereka juga mempelajari lebih mendalam tentang proses biologi yang memungkinkan karang beradaptasi dengan temperatur lebih tinggi.
Penemuan karang tahan panas ini bermula ketika Palumbi dan Tom Oliver, yang kini peneliti postdoctoral di Stanford, pergi ke Pulau Ofu di Samoa Amerika pada 2006. Pulau Ofu dikenal sebagai cagar alam terumbu karang perairan tropis, yang koloninya tetap sehat meski perairannya secara bertahap terus memanas. Tak sekadar panas yang memanggang, koral di Pulau Ofu mengalami beberapa tekanan lingkungan ekstrem, seperti kadar oksigen terlarut yang berkisar 23-212 persen dan kadar pH yang bervariasi.
Pulau Ofu adalah laboratorium alam yang sempurna, kata Oliver. Banyak di antara koralnya yang bersimbiosis dengan alga tahan panas sekaligus alga yang sensitif terhadap panas. Pulau Ofu juga memiliki perairan dengan temperatur bervariasi, yang memungkinkan tim peneliti mengetes dalam kondisi apakah alga tersebut membentuk kerja sama dengan koral.
Dalam laguna yang lebih dingin, Oliver menemukan hanya sedikit koral yang hanya bersimbiosis dengan alga resistan panas, namun di perairan yang lebih panas dia mencatat adanya kenaikan proporsi alga tersebut. Hal itu mengindikasikan bahwa sejumlah karang telah mengganti alga sensitif panas dengan tipe yang lebih kukuh. Hasil riset Palumbi dan Oliver ini kemudian dikombinasikan dengan data regional dari sejumlah tempat di Pasifik dan dipublikasikan dalam jurnal Marine Ecology Progress Series pada Maret lalu.
Untuk melihat apakah pola ini juga berlaku pada skala global, para ilmuwan merangkul Kevin Arrigo, seorang pakar ilmu sistem lingkungan Bumi di Stanford, yang juga ahli pencitraan satelit jarak jauh terhadap microalgae laut. Arrigo telah mengumpulkan data oseanografi dari seluruh dunia dengan beragam variabel lingkungan, termasuk keasaman laut, frekuensi peristiwa cuaca, dan temperatur muka laut.
Oliver membandingkan puluhan hasil studi terumbu karang dari seluruh perairan tropis dengan data lingkungan Arrigo. Hasilnya mengungkap adanya pola yang sama: di kawasan dengan temperatur samudra tahunan maksimum di atas 29 sampai 31 derajat Celsius, koral menghindari bleaching dengan menjadi inang bagi lebih banyak alga tahan panas.
Koral umumnya mati dan memutih ketika temperatur naik satu derajat Celsius di atas suhu normal dalam jangka panjang. Tetapi simbion tahan panas memungkinkan karang mampu mengatasi kenaikan temperatur hingga 1,5 derajat Celsius di atas ambang batas bleaching. Kemampuan itu mungkin cukup untuk membantu koral bertahan melewati akhir abad ini, kata Oliver, bergantung pada seberapa parah pemanasan global terjadi.
Laporan United Nations International Panel on Climate Change pada 2007 menyimpulkan bahwa rata-rata temperatur muka laut ada kemungkinan naik 2-4,5 derajat Celsius pada 2100. Dalam skenario itu, pergantian simbion saja tak bakal cukup membantu koral, tapi Oliver berharap harapan itu tetap ada berkat bantuan mekanisme adaptif lainnya. "Temuan ini menunjukkan, dengan waktu yang cukup, banyak koral bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang kian memanas," ujarnya. "Sayangnya, lingkungan modern berubah begitu cepat sehingga koral mungkin tak bisa mengejar."
Meski begitu, Oliver menaruh harapan besar pada koral tahan panas, yang ternyata juga lebih toleran terhadap kenaikan keasaman laut yang terjadi ketika samudra menyerap karbon dioksida dari atmosfer, yang juga mengancam terumbu karang. "Ini menunjukkan koral di seluruh dunia beradaptasi terhadap kenaikan keasaman dan panas," kata Oliver. "Di seluruh perairan tropis, koral dengan kemampuan berganti simbion dapat bertahan hidup."
TJANDRA DEWI | STANFORD | USGS