Sepanjang 9 sampai 27 Mei lalu, kapal survei milik perusahaan raksasa minyak CGGVeritas bergerak di perairan laut di sebelah barat Sumatera, tepatnya sekitar Kepulauan Mentawai. Geowave Champion--nama kapal itu--seperti biasa menceburkan gunshot dan mengulur kawat streamer dari buritannya kalau ingin mencari sumber cadangan minyak baru.
Yang tidak biasa, streamer itu terus terulur hingga 15 kilometer. Ini terlalu panjang untuk survei mencari sumber-sumber minyak atau gas bumi yang cukup dengan streamer sampai 3 kilometer. Streamer yang terulur sampai 15 kilometer ini luar biasa panjang.
Mengitari Pulau Siberut, Sipora, dan Pagai, menyeberangi palung, dan berbelok sedikit ke investigator ridge di Samudera Hindia, kapal terus bergerak dari Padang dan kembali ke Padang sejauh 170 kilometer. Sepanjang perjalanan itu pula kapal-kapal nelayan dan rumpon kandang ikan dihalaunya demi streamer 15 kilometer seharga US$ 1 juta (lebih dari Rp 10 miliar) per kilometer itu jangan sampai ada yang rusak apalagi hilang gara-gara tersangkut. "Bagian ini sendiri sudah menjadi pekerjaan yang kompleks," kata Satish Singh dari Institut Geofisika Paris.
Jumat lalu, Satish menjelaskan apa yang dilakukannya bersama kapal dan streamer milik CGGVeritas itu: sebuah pemetaan struktur geologi yang menembus kedalaman 50 kilometer. Kedalaman yang sudah melampaui rata-rata hiposentrum gempa besar (20-40 kilometer) itu di beberapa titik bahkan sampai mengungkap struktur bernama Moho (Mohorovicic Discontinuity), yakni zona batas antara kerak bumi dan mantel bumi.
"Belum pernah ada yang melakukannya. Ini adalah yang pertama di dunia," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Subaktian Lubis mengomentari pemetaan struktur geologi yang sedalam itu.
Subaktian Lubis ikut terlibat dalam pelayaran bersama Satish. Total ada delapan anggota tim peneliti gabungan dari Prancis, Amerika Serikat, dan Indonesia di atas kapal Geowave Champion. Yusuf Surachman Djajadihardja, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, memimpin tim peneliti yang asal Indonesia.
Yusuf menjelaskan, survei bertujuan memburu sumber gempa yang berpotensi memicu gelombang tsunami di zona terkunci secara tektonik di Kepulauan Mentawai yang tepat menghadap Kota Padang dan sedikit ke utara Bengkulu. "Dengan pemetaan ini, kami bisa melihat struktur patahan-patahan (yang) dalam dan menentukan sejauh mana tingkat keaktifannya," kata Yusuf.
Berdasarkan rekamannya pada batuan karang plus pengukuran global positioning system, gempa besar terakhir di kawasan Kepulauan Mentawai terjadi pada 1833. Kalau dihitung berdasarkan siklusnya yang 200 tahunan (seperti yang berlaku dalam 700 tahun terakhir), energi yang terkumulasi dari impit-impitan lempeng benua Australia dan Eurasia di zona itu memang sudah waktunya dilepaskan kembali.
Tapi--sementara di bagian utara pelepasan energi dahsyat sudah terjadi, yakni di Aceh dan Nias pada 2004 dan 2005, begitu pun di sebelah selatannya (Bengkulu, 2000)--kapan pastinya letusan gempa dari Mentawai tidak diketahui. "Kami memang cuma bisa memprediksi kejadian gempa besar (di Mentawai) dalam 30 tahun ke depan," kata Danny Hilman Natawidjaja, ahli paleotsunami dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang ikut menanggapi presentasi Satish dkk. "Kalau mau jangka waktu yang lebih pendek, mungkin harus tanya paranormal," katanya lagi setengah bercanda.
Di sinilah lalu arti penting muncul dari survei struktur geologis dalam yang telah dilakukan, yang hasil-hasil pemetaan seismiknya sedang dipersiapkan untuk dimuat dalam edisi jurnal Nature ke depan. Satish mengatakan survei-survei geologi mencari sumber gempa biasanya dilakukan setelah ada kejadian gempa. Ini seperti lebih dari 10 kali survei yang dilakukan BPPT pascagempa Aceh yang akhirnya menemukan bukti terjadinya longsoran di tebing di dasar laut. "Kali ini, untuk pertama kalinya di dunia, kami melakukan survei sebelum ada gempa," katanya.
Satish menjelaskan, pemetaan yang dibuat kali ini bisa digunakan untuk diperbandingkan dengan kondisi geologis di kawasan yang sama pascagempa nanti. Dari peta hasil survei yang sekarang Satish dan timnya di antaranya mengamati struktur patahan gempa yang sudah sangat jenuh energi. "Tidak perlu gempa sekuat 6 skala Richter untuk membuatnya patah dan akhirnya memicu tsunami," dia mengungkapkan.
WURAGIL