Isolasi geografis diperkirakan membuat palem ini hanya dapat ditemukan di ujung barat Pulau Jawa dan membuatnya rentan terhadap kepunahan. "Distribusi palem ini dilakukan oleh burung, tapi kami belum mengetahui jenis burung yang membantu penyebaran biji palem itu," kata Joko Witono, ahli palem di Kebun Raya Bogor, Selasa pekan lalu.
Endemisitas dan jumlah populasinya di alam membuat Licuala gracilis itu berada dalam daftar spesies target untuk penilaian spesies prioritas konservasi bersama 59 anggota famili Arecaceae terancam punah lainnya. Puluhan pakar tumbuhan yang hadir dalam workshop "Penetapan Spesies Prioritas untuk Konservasi Tumbuhan Indonesia Terancam Kepunahan" mengkaji spesies palem yang harus diprioritaskan untuk dikonservasi terlebih dulu.
"Panel pakar ini bukan terdiri dari peneliti biasa, melainkan peneliti yang memiliki pengalaman lapangan dan kepakaran di bidangnya sehingga tahu kondisi dan populasi spesies tumbuhan itu di alam," kata Didik Widyatmoko, Kepala Kebun Raya Cibodas. "Kami membutuhkan orang yang mengetahui kerusakan habitat, ancaman, dan kerentanan yang ada."
Kegiatan yang digelar oleh Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu berlangsung pada 2-3 Juni 2009 di gedung Konservasi, Bogor.
Selain ke-60 palem itu, terdapat puluhan spesies tumbuhan lain dari tiga famili anggrek (Orchidaceae), paku (Cyatheaceae), dan kantong semar (Nepenthaceae). Totalnya terdapat 191 spesies tumbuhan yang berada dalam daftar spesies target tersebut, yaitu 34 spesies paku, 53 jenis kantong semar, dan 44 jenis anggrek.
Empat famili tumbuhan itu dipilih karena memiliki anggota terancam kepunahan paling banyak. Didik menuturkan, sebenarnya ada 16 famili tumbuhan yang anggotanya terancam kepunahan, tetapi penilaian akan dilakukan secara bertahap. "Tahun depan kami akan menilai empat famili lagi, seperti Dipterocarpaceae dan Myrtaceae," ujarnya. "Kalau bisa seluruh famili akan kami bahas, minimal 13 famili."
Berdasarkan data dalam daftar merah yang dikeluarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) 2008, tak kurang dari 386 spesies tumbuhan Indonesia terancam punah. Angka itu sebenarnya lebih besar, mencapai 513 spesies jika menggunakan data gabungan dari World Conservation Monitoring Center (1997), Walter & Gillet (1998), serta data IUCN dari 2007 dan 2008. "Bila dilakukan studi dengan cermat, jumlah spesies tumbuhan Indonesia yang terancam kepunahan, baik kategori kritis, genting dan rawan, sebenarnya jauh lebih besar lagi," kata Didik.
Bahkan jumlah tumbuhan Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian melonjak sampai 700 jenis, bila spesies yang masuk kategori risiko rendah ikut diperhitungkan. Anggrek, palem, paku dan kantung semar merupakan taksa dengan jumlah spesies berkategori terancam punah paling banyak, selain tumbuhan berkayu.
Sayangnya dari 386 spesies tumbuhan terancam kepunahan versi IUCN 2008 itu, baru 68 jenis tumbuhan tingkat tinggi non-anggrek yang sudah dikonservasi di kebun raya, atau kurang dari 20 persen. "Tidak mungkin kami melakukan aksi penyelamatan terhadap seluruh jenis itu karena tenaga maupun dana yang terbatas," kata Mustaid Siregar, Kepala Kebun Raya Bogor.
Data 2008 menunjukkan bahwa Kebun Raya Bogor telah mengoleksi 34.141 spesimen, yang terdiri atas 218 suku, 1.267 marga, dan 3.428 jenis tumbuhan.
Selain menetapkan spesies prioritas yang harus diselamatkan terlebih dulu, kegiatan ini diharapkan dapat menggugah para pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan keanekaragaman hayati tumbuhan Indonesia. "Orang lebih peduli terhadap fauna, sedangkan tumbuhan belum banyak mendapat sorotan, padahal banyak yang terancam punah, bahkan sudah punah," kata Mustaid. "Ini risiko kalau terlalu kaya, sampai tidak tahu jika kehilangan harta."
Setelah berdiskusi panjang, panel pakar dari empat famili tumbuhan akhirnya menetapkan 100 spesies kategori A, alias spesies yang memerlukan tindakan konservasi segera. Dua spesies yang memperoleh skor tertinggi, yang berarti harus dikonservasi sesegera mungkin, adalah Nepenthes adnata dan Nepenthes campanulata.
Nephentes adnata adalah kantong semar dari dataran tinggi Sumatera. Kantong semar yang ukurannya relatif kecil ini ditemukan pada ketinggian di atas 700 meter. Sebaliknya N. campanulata, yang berasal dari Kalimantan, adalah spesies kantong semar dataran rendah. "Nepenthes campanulata Borneo diperkirakan sudah punah di alam, tapi kemungkinan masih ada di Sumatera," kata Didik.
Kantong semar memang merupakan satu famili yang banyak dieksploitasi selain anggrek. Kedua famili tumbuhan itu mendominasi 20 peringkat teratas dari 100 spesies kategori A. Dari 20 spesies tersebut, terdapat enam jenis kantong semar dan sisanya adalah anggrek.
Kajian terhadap 53 spesies target anggota Nepenthaceae atau kantong semar memperlihatkan 34 spesies berada dalam kategori A, 15 spesies masuk kategori B (aksi konservasi masih dapat ditunda), dua spesies masuk kategori C (belum memerlukan aksi konservasi), dan dua lainnya tidak dapat diukur karena kurang data.
Sedangkan penilaian terhadap 44 jenis anggrek menunjukkan seluruh anggota Orchidaceae itu masuk kategori A. Marga anggrek yang dibahas dalam workshop itu adalah Dendrobium,Vanda, Bulbophyllum, Phalaenopsis, Paphiopedilum, Papilionanthe, dan Paraphalaeopsis.
Pembahasan famili Cyatheaceae atau paku tiang menunjukkan bahwa dari 34 spesies yang dinilai, 8 spesies masuk kategori A, 24 spesies masuk kategori B, 1 spesies masuk kategori C, dan 1 spesies lainnya kurang data.
Penilaian terhadap 60 spesies target anggota Arecaceae atau palem-paleman, hanya 14 spesies yang masuk kategori A. Sebanyak 21 spesies masuk kategori B, 16 spesies masuk kategori C, 10 spesies dikeluarkan dari daftar, dan 6 spesies tak bisa diukur karena kurangnya data.
Keputusan untuk mendrop sejumlah spesies dilakukan karena beberapa alasan, yaitu kurang data, data taksonominya meragukan sampai tiadanya catatan keberadaan spesies itu di Tanah Air. "Data IUCN menyebutkan spesies itu ditemukan di Borneo, tapi tumbuhan itu tidak ditemukan di wilayah Indonesia," kata Rosniati Risna, ketua panitia workshop. "Ada juga yang populasinya di alam masih besar, distribusi populasinya luas, dan pemanfaatannya minor."
Beberapa spesies tumbuhan tak bisa dinilai karena datanya kurang lengkap. Data yang tersedia hanya berasal dari koleksi herbarium yang dimiliki kebun raya sehingga para pakar tak mungkin melakukan estimasi terlalu jauh. "Kami perlu studi populasi untuk menentukan status krisis dan data itu belum ada," ujar Risna.
Selain mengeluarkan sejumlah spesies dari daftar spesies target, panel pakar juga sepakat menambah dan memasukkan spesies tumbuhan lain yang dianggap statusnya lebih kritis. "Penambahan spesies itu dilakukan karena jenis itu baru ditemukan atau spesies baru dan populasinya sedikit di lokasi penemuan tapi data tidak cukup untuk dikaji dengan 17 kriteria skor," kata Risna. "Perlu studi populasi lebih lanjut karena koleksi terakhir sudah sangat lama dan tumbuh di habitat rawan."
Risna memberi contoh palem Hydriastele flabellata yang tak ada dalam daftar target, tapi belakangan dimasukkan ke daftar spesies prioritas kategori A. Palem itu diusulkan untuk segera dikonservasi karena pernah dikoleksi beberapa dekade lalu di Sorong, tetapi lokasi penemuannya kini menjadi pusat kota dan palem itu tidak ditemukan lagi.
Hal serupa juga terjadi pada pembahasan panel pakar famili Orchidaceae. Banyak spesies yang semula berada dalam list 191 spesies target, tetapi akhirnya diganti dengan spesies anggrek lain yang perlu diprioritaskan. Anggrek Paphiopedilum moquettianum, Phalaenopsis viridis, dan Vanda devogtii, misalnya, adalah anggrek yang baru dimasukkan ke daftar prioritas karena kondisinya di alam yang berisiko punah.
Hasil tukar pendapat para pakar palem Indonesia menunjukkan bahwa aksi konservasi terhadap Licuala gracilis masih dapat ditunda. Justru kerabatnya, palem mungil yang juga berasal dari pulau Jawa, Licuala pumila, masuk di 100 spesies kategori A. Berbeda dengan Licuala gracilis yang bongsor, Licuala pumila hanya bisa mencapai tinggi maksimal 1 meter, sesuai dengan nama "pumila" yang berarti kecil dalam bahasa Latin.
TJANDRA DEWI