TEMPO Interaktif, Bandung: Perawat, seperti halnya tenaga medis lain, bertugas melayani kebutuhan pasien. Tapi, yang dilakukan lima mahasiswi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadajaran, Bandung, ini berbeda. Calon perawat itu justru ingin mengurangi orang dirujuk ke rumah sakit.
Caranya, mereka merancang sistem peringatan sederhana di perlintasan kereta api yang tak berpalang pintu. Dengan demikian dapat memberi sinyal dan mencegah terjadinya kecelakaan di pelintasan kereta, yang belakangan kerap terjadi.
Dibantu seorang rekan mereka di jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB), Gloria Asmarani dan kawan-kawan membuat alarm untuk mencegah pengendara tertabrak kereta api di perlintasan tanpa pintu.
Ujicoba alat seharga Rp 1 juta itu dilakukan di daerah Cijapati, Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada April-Mei lalu. Seminggu dua kali selama lima pekan, alarm ditempatkan di sisi rel. “Hasilnya memuaskan,” kata Gloria.
Dari catatan tim, ketika alarm berbunyi, pengendara berhenti di belakang marka jalan hingga kereta berlalu 500 meter. Tingkat kepatuhan itu dengan uji statistik mencapai 99,2 persen, dibandingkan pada kelompok kontrol (pembanding) yang diamati di pintu perlintasan serupa di tempat lain. Sebelum uji coba itu, ujarnya, tim melakukan sosialisasi ke pengendara dan warga sekitar.
Dipilihnya Cijapati, kata dia, karena ruasnya tergolong jalan provinsi yang ramai dilintasi pengendara. Perlintasan kereta apinya pun tergolong rawan dengan jatuhnya korban beberapa kali. Di sana, kata perempuan berkerudung itu, PT Kereta Api memang tidak harus memasang palang pintu karena kereta yang lewat hanya 18 rangkaian setiap hari.
Sesuai surat keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Nomor 770 Tahun 2005 tentang pedoman teknis perlintasan sebidang antara jalan dengan jalur kereta api, hanya perlintasan yang dilewati 25 kereta atau lebih yang wajib diberi palang pintu. Namun begitu, tim di lokasi melihat rambu dan marka di Cijapati masih kurang, misalnya isyarat suara dan cahaya.
Selain itu, tim juga mencatat, angka tumburan kereta api dengan kendaraan di Indonesia paling tinggi. “Kita antisipasi dari situ,” ujarnya. Karena perawat, imbuhnya, tidak hanya berfungsi untuk membantu penyembuhan pasien, tapi juga sebisa mungkin mengurangi tingkat kecelakaan.
Sebetulnya, kata mahasiswi semester 8 itu, mereka tidak bermaksud menciptakan alarm kedatangan kereta. Mereka hanya ingin mengetahui efektivitas peringatan dini. “Karena alatnya belum ada, jadi kita bikin,” ujarnya.
Alarm itu terdiri dari rangkaian mikrofon kecil yang tersambung ke kotak berisi detektor, amplifier, dan filter, lalu ke sepasang pengeras suara. Mikrofon di sisi rel, berfungsi menangkap suara getaran kiriman detektor. Setelah dikuatkan oleh amplifier, suara selanjutnya dipisahkan oleh filter. “Jadi hanya bunyi getaran kereta saja yang masuk,” jelasnya. Alarm akan berbunyi ketika jarak kereta masih 1 kilometer dari perlintasan hingga berlalu sejauh 500 meter.
Alat itu sejak Senin (8/6) lalu hingga hari ini dipamerkan di acara monitoring dan evaluasi program kreativitas mahasiswa di Universitas Padjadajaran, Jalan Dipati Ukur 35, Bandung. Alarm tersebut bersaing dengan 100 lebih karya mahasiswa dari belasan fakultas lain agar bisa terpilih untuk maju ke tingkat Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Universitas Brawijaya, Malang, mulai 13-25 Juli mendatang.
ANWAR SISWADI