Per Februari, David mengajak teman-teman barunya berbagi tugas mewujudkan MOSES (dalam Eye-Engine, David membentuk tim Constient bersama Nicholas Hernando, rekannya di Teknik Elektro ITB, dan Alexander Bimo Ary Wibowo Soetjipto dari Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB).
Dody Dharma kebagian merancang bagian antarmuka (interface) sistem MOSES. Samuel Simon dipercaya membuat program agar PDA-Scope bisa tersambung ke PDA atau telepon seluler. Dominikus Damas Putranto mengerjakan expert system.
David berperan memproses citra MOSES dan perangkat kerasnya (hardware). Ia juga mengolah pengambilan data anamnesis dengan pemrosesan suara. Marselina atau Malaria Anamnesis Recognition System and Endemic Locater in Accessible Area ini nantinya memang bisa membuat pasien langsung bertanya jawab dengan komputer, tapi ini masih rancangan masa depan.
"Masih perlu banyak pengembangan seperti perintah suara dalam bahasa Indonesia," kata David. Dia menambahkan, total ada 10 aplikasi Microsoft yang dipakai, dari pemasukan, pengiriman, pengolahan, hingga tampilan data.
David dan tim Big Bang mengumpulkan dana secara swadaya alias dari kocek sendiri. Keseluruhannya habis Rp 10 juta, termasuk ongkos transportasi Jakarta-Bandung selama lomba.
Dody mengungkapkan, pengeluaran terbesar adalah pembelian mikroskop standar dan digital. Padahal, praktis, dari kedua mikroskop mahal itu cuma diambil lensa, lampu penerang preparat, dan mikrometer sekrup untuk pergeseran preparat. "Sisanya tak mungkin bisa kembali lagi (menjadi mikroskop)," katanya.
Spesifikasi lensa mikroskop yang mereka butuhkan adalah yang sanggup melakukan perbesaran obyek hingga 1.000 kali. Persoalan tak selesai di sana. Agar tampilan ketika difoto sama seperti yang terlihat di lensa dekat preparat kaca berisi contoh darah, tabung lensa diperbesar.
Bahan yang digunakan adalah pipa plastik berukuran panjang 16 sentimeter dan bergaris tengah 1,5 inci. "Nah, bagian inilah yang paling murah dan gampang dicari, yaitu paralon," kata David seraya tersenyum.
Setelah PDA-Scope terangkai alat diuji dengan contoh darah asli pasien yang terinfeksi malaria. Tak tanggung-tanggung, mereka mendapatkannya dari Papua yang endemik malaria. Ada kiriman dua sampel darah, masing-masing mengandung plasmodium vivax dan plasmodium falciparum. "Sangat berharga kami bisa dapat dua parasit sekaligus," kata David.
Kini, setelah teruji dan metodenya diakui dalam ajang Imagine Cup, David dan kawan-kawannya menawarkan harga jual Rp 1 juta untuk PDA-Scope. Mereka menganggap harga itu jauh lebih murah ketimbang membeli sebuah mikroskop yang mencapai Rp 3 juta.
Mereka juga melakukan riset biaya penempatan dokter berdasarkan hasil studi kasus penempatan dokter di Papua. Selama enam bulan penugasan enam dokter ke pulau itu akan memakan biaya mencapai Rp 270 juta.
Bandingkan kalau dengan mengandalkan MOSES yang dioperasikan bidan setempat. Yang mahal, kata David, awalnya saja ketika instalasi sistem (ia menaksir Rp 200 juta), selanjutnya murah. "Dan yang terpenting, bidan dan pasien cepat terbantu lewat pengiriman data penyakit malaria yang secepat mungkin sehingga pasien bisa segera diobati," katanya menambahkan.
Pada 3 Juli nanti, MOSES tak hanya terbang ke Kairo. Saat yang bersamaan, MOSES juga harus menghadapi juri Indonesia ICT Award (INAICTA) 2009 yang digelar Departemen Komunikasi dan Informasi di Jakarta. Di kampusnya, MOSES juga sudah lolos untuk didanai program Tanoto Foundation Award.
l ANWAR SISWADI