TEMPO Interaktif, Jakarta: Sebagian besar pemakai komputer tentu memahami bahwa semakin hari, worm, malware atau apapun sebutan virus komputer, akan semakin “memperbaharui diri”. Bukan jaminan jika perusahaan anti-virus menciptakan penangkal, maka akan beres semua masalah untuk seterusnya. Bulan depan, minggu depan, atau bahkan esok, bisa jadi akan muncul lagi virus baru yang lebih canggih, dan tentu semakin cerdas merusak sistem.
Masih ingat virus komputer 'Nimda' yang merajalela sekitar September tahun 2001 silam? Virus campuran yang menyerang lewat situs-situs web dan e-mail ini bisa merusak sistem komputer dalam waktu 126 hari, tanpa disadari sebelumnya oleh pemilik komputer. Setahun kemudian ada virus 'Klez', dan Januari 2003 muncul virus 'Slammer' yang merusak dalam waktu 101 hari.
Hanya beberapa bulan setelah 'Slammer', September 2003, muncul virus 'Blaster' yang punya kemampuan merusak dalam waktu 26 hari. Mereka berkembang begitu cepat. Pada April 2004, virus 'Sasser' pun merajalela. Virus ini mampu merusak sistem dalam waktu 17 hari. Paling cepat? Tentu tidak. Pada Agustus 2005, muncul virus 'Zobot' yang memiliki kecepatan merusak dalam waktu 6 hari saja!
Gun Suk Ling, Managing Director South East Asia, Kaspersky Lab mengatakan, Indonesia termasuk negara yang mencatat angka serangan virus komputer tertinggi. Termasuk serangan dari wabah virus 'Kido' dan 'Conficker', yang muncul tahun ini.
Mengapa? Menurut Suk Ling, ini karena banyak perusahaan, atau pengguna komputer yang tidak mengupdate atau memperbaharui anti-virusnya. “Karena kalau tidak diupdate, sistem operasinya bisa terkena serangan virus,” ujarnya di Jakarta, Kamis pekan lalu. Apalagi kalau menggunakan peranti lunak bajakan alias ilegal, “Tentu saja tidak akan mendapat update.”
Soal update mengupdate anti-virus memang jadi persoalan tersendiri. Terutama bagi perusahaan besar yang memiliki jaringan dengan ratusan komputer di dalamnya. “Misalnya dari 500 unit komputer, tentu akan sulit diketahui mana yang sudah dan mana yang belum diupdate kalau tidak didata satu-persatu,” kata Suk Ling.
Tentu perusahaan tak bisa anggap enteng masalah ini. Wabah virus bisa mengakibatkan kerugian sangat besar. Seperti di Amerika Serikat, “Kerugian yang diakibatkan wabah virus mencapai US$ 80 miliar,” ujarnya.
Nah, untuk mengatasi masalah itu, vendor peranti keamanan tersebut memperkenalkan sebuah solusi manajemen anti-virus terbarunya. Solusi dengan nama K-SOC, atau Kaspersky Open Source Security, ini memiliki teknologi terbaru dari Rusia yang terkenal konsisten. “Sama dengan produk lain dari Rusia yang dikembangkan sendiri, tidak mengakuisisi merek lain,” kata Ary Pryanto, Manager Teknik Produk, Kaspersky.
Dinamakan Open Space, karena solusi ini untuk kebutuhan keamanan korporat. Agak berbeda dengan sistem keamanan komputer pribadi yang biasanya hanya untuk sistem operasi berbasis Microsoft, solusi K-SOC lebih terbuka dan variatif. “Bisa untuk Microsoft, Linux atau Mac OS,” ujarnya. Solusi ini juga dirancang untuk wabah virus yang lebih kompleks. Pasalnya, “Satu PC bermasalah, semua PC yang terhubung juga bisa ikut bemasalah.”
Menurut Ary, solusi ini menggunakan sistem sentralisasi dalam mengelola data jaringan komputer. Dengan sistem itu, analisa data sistem komputer diperbaiki dan bisa dimonitor secara visual.
Misalnya sebuah perusahaan memiliki cabang dan jaringan hingga ke beberapa negara. Dari visualisasi monitor itulah kita bisa segera mengetahui, dimana lokasi komputer atau jaringan yang terinfeksi virus. “Visualisasi itu sampai ke setiap ruang di setiap kantor, dan komputer masing-masing orang,” ujarnya.
Tak sekadar mengolah data, K-SOC, yang mulai dipasarkan di Indonesia ini juga merupakan solusi pencegahan virus. Pasalnya, solusi ini sudah dilengkapi peranti anti-virus Kaspersky terkini yang memiliki kemampuan proteksi terhadap berbagai tipe ancaman virus di jaringan maupun dari internet. “Dengan solusi ini, munculnya wabah malware-malware baru bisa direspon lebih cepat,” kata Ary. Tentu saja, agar perusahaan tak merugi.
DIMAS