Kedua ibu rumah tangga ini mengaku, sejak empat tahun lalu kampung mereka menjadi langganan rob atau air laut yang masuk ke daratan. Ketika itu rob hadir seminggu sekali mulai selepas azan magrib hingga pukul delapan pagi keesokan harinya. Namun, sejak awal tahun lalu, air berwarna hitam bercampur sampah itu muncul setiap malam pada saat laut pasang.
Pada musim hujan di bulan Desember hingga Maret, rob bersama air sungai malah membanjiri rumahnya setinggi satu meter. "Kampung Pabrik Kaleng jadi empang," kata Nurhayati, 35 tahun, yang suaminya bekerja sebagai buruh di tempat pelelangan ikan Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman. Kalau sudah seperti ini, keluarganya tinggal di lantai dua rumahnya, yang terletak di Rukun Tetangga 07, Rukun Warga 17, Kelurahan Penjaringan.
Pengeluaran untuk transportasi dan berobat menjadi bertambah. Anaknya yang bersekolah di SD Negeri Penjaringan harus naik becak dengan biaya Rp 6.000 sekali jalan. Padahal, jika naik angkutan umum cuma Rp 1.000. Kendaraan bermotor memang tidak berani menerobos Jalan Muara Baru, yang terendam air setinggi 50 sentimeter.
Sriasih juga selalu membawa anaknya yang berusia lima tahun berobat ke puskesmas. "Batuk, pilek, dan kakinya korengan," kata perempuan yang sejak lima tahun lalu tinggal di Penjaringan ini. Biaya yang paling besar tentunya meninggikan kediamannya. Sejak dua tahun lalu, lantai rumah Sriasih ditinggikan setengah meter. Sedangkan Nurhayati, yang datang ke Jakarta dari Surabaya 10 tahun lalu, cuma membuat tanggul di pintu masuk rumahnya, yang luasnya 80 meter persegi.
Lukas Tamono dan Anwar, yang tinggal di RT 15, RW 17, juga meninggikan rumahnya. "Saya uruk setinggi satu meter," kata Anwar, 50 tahun, yang bekerja sebagai wiraswasta. Rumahnya seluas 60 meter persegi terletak di gang yang cuma bisa dilewati sepeda motor. Bersama para tetangga, mereka kerja bakti membangun tanggul di jalan raya agar rob tidak masuk ke wilayah mereka. RW 17 memang berada di belakang Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman, yang dikelola Departemen Kelautan dan Perikanan.
Rob pada saat laut pasang juga menyerbu dua kelurahan lain di Kecamatan Penjaringan, yakni Kelurahan Pluit dan Kelurahan Kamal. Namun, warga di kedua wilayah ini umumnya kalangan atas sehingga air laut tersebut tidak masuk ke rumah dan jalan raya. Warga membentuk Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Pluit, yang mengumpulkan dana untuk membuat tanggul dan membeli mesin pompa.
Kali Muara Karang, yang lebarnya 40 meter dan berada 3 meter di atas kompleks real estate Pluit, memang pernah jebol tanggulnya. Dua tahun lalu mereka meninggikan tanggul sepanjang 800 meter. "Kami harus tinggikan satu meter lagi untuk mengantisipasi banjir yang akan datang," kata Oscar W. Kusumaprijatna, Ketua Dewan Kelurahan Pluit. Biaya untuk ini sebesar Rp 200 juta dipikul oleh warga kompleks, yang umumnya dari etnis Tionghoa.
Setiap rukun warga di kompleks ini juga membeli satu unit pompa seharga Rp 40 juta. Ada sekitar 60 unit pompa besar dan kecil di kompleks ini untuk memompa rob dan air banjir ke Kali Muara Karang. Benteng pertahanan ini manjur karena kompleks tersebut tidak terendam air pada saat banjir bandang melanda Jakarta pada puncak musim hujan 2007 dan 2008.
Upaya yang dilakukan Nurhayati, Anwar, dan Oscar merupakan bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Warga lapisan atas mampu mengurangi dampak perubahan iklim dengan uang dan modal sosial yang mereka miliki. Sebaliknya dengan warga miskin, mereka harus bergantung pada pemerintah. Tampaknya upaya yang mereka lakukan harus ditingkatkan lagi. Bukan apa-apa, Jakarta makin rentan terhadap perubahan iklim.
Studi yang dilakukan International Development Research Center's Economy and Environment Program for Southeast Asia (IDRC) membenarkan sinyalemen itu. "Jakarta merupakan kota yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim ketimbang kota-kota lain di Asia Tenggara," kata Dr Herminia Francisco, Manajer Senior IDRC, kepada pers di Jakarta akhir April lalu.
Hasil kajian ini memperlihatkan empat dari 10 daerah paling rentan adalah sekitar Jakarta. Urutan pertama adalah Jakarta Pusat, Jakarta Utara (urutan ke-2), Jakarta Barat (3), Jakarta Timur (5), dan Jakarta Selatan (8). Urutan keempat adalah Mondol Kiri dan keenam Rotanokiri--keduanya di Kamboja--sedangkan urutan ke-7 adalah National Capital Region di Manila, Filipina. Kota/kabupaten yang berbatasan dengan Jakarta juga rentan, seperti Kota Bekasi (urutan ke-12), Kota Bogor (14), Kota Depok (15), dan Kota Tangerang (17).
Studi IDRC ini menggenapi penelitian yang dibuat tim ahli Asian Development Bank (ADB) bertajuk "The Economics of Climate Change in Southeast Asia: A Regional Review". Pada 28 April lalu, studi ini diluncurkan ke publik menjelang sidang tahunan ke-42 ADB di Bali. Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, menurut studi ini, menjadi negara-negara yang paling parah terkena dampak perubahan iklim.
"Kerugian yang muncul, jika digabung, setara dengan lebih dari 6 persen produk domestik bruto mereka setiap tahun pada akhir abad ini," demikian laporan ADB. Angka ini melebihi kerugian akibat krisis keuangan global yang sedang terjadi saat ini. Ratusan pulau kecil di Indonesia terancam tenggelam karena naiknya paras muka laut setinggi 70 sentimeter. Akibatnya, prediksi ADB, jutaan penghuninya dan warga yang tinggal di pesisir harus direlokasi.
Jika tidak ada upaya mitigasi mengurangi emisi gas-gas rumah kaca, kenaikan itu tidak terhindarkan lagi. "Kenaikan paras muka laut akan membanjiri daerah Jakarta seluas kurang-lebih 160,4 kilometer persegi pada 2050," kata Dr Armi Susandi, dosen Institut Teknologi Bandung, yang bersama Profesor Safwan Hadi membuat proyeksi dampak kenaikan paras muka laut di wilayah utara Jakarta. Dua obyek penting yang ikut terendam adalah Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok. Area yang bakal tergenang itu 24,3 persen dari luas Jakarta.
Armi Susandi, yang menjabat Ketua Program Studi Meteorologi ITB, juga membuat proyeksi curah hujan di Jakarta hingga 2050. Menurut dia, pada tahun itu akan terjadi akumulasi banjir akibat curah hujan dan kenaikan paras muka laut. Lima kecamatan di Jakarta Utara bakal terendam banjir, yakni Cilincing, Koja, Tanjung Priok, Pademangan, dan Penjaringan. Pada 2080, air laut dan banjir akan menggenangi kawasan Monas dan Istana Negara di Jakarta Pusat. Padahal landmark Jakarta dan kantor kepresidenan ini berada sekitar 15 kilometer dari pantai di Kecamatan Penjaringan.
Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar meminta Pemerintah Provinsi Jakarta mengurangi tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim. Caranya, dia mengusulkan, menekan kepadatan penduduk Jakarta, yang saat ini berjumlah 8 juta jiwa. "Segera lakukan langkah penataan tata ruang wilayah, mengatasi masalah transportasi darat dengan metode transportasi massal dan sebagainya," ujarnya.
Gubernur Jakarta Fauzi Bowo mengakui ancaman yang dihadapi wilayahnya. "Kami telah memasukkan aspek perubahan iklim ke evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010," katanya. Menurut dia, rencana tata ruang ini terintegrasi dengan sektor lainnya. Misalnya pembangunan mass rapid transportation yang harus memperhatikan aspek lingkungan. Begitu juga penerapan standar green building bagi bangunan di Jakarta.
Menurut Fauzi, program jangka pendek sudah dilakukan dengan membangun tanggul antara laut dan permukiman warga di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan. Sayangnya, Departemen Kelautan dan Perikanan serta instansi lain yang memiliki aset di wilayah itu belum sepenuhnya membangun tanggul. "Dari yang bolong-bolong itulah rob masuk ke permukiman warga," ujarnya. Tampaknya masih jauh harapan Nurhayati, Sriasih, Lukas, dan ribuan warga Penjaringan lainnya terhindar dari rob.
UNTUNG WIDYANTO