TEMPO Interaktif, Jakarta - Kasus semburan lumpur akibat pengeboran air dalam di Serang, Banten, bukan peristiwa pertama. Tahun 2007 kejadian serupa pernah terjadi, dan semburan kali ini posisinya persis di tengah 2 lokasi semburan saat itu. “Letaknya juga dekat Puskesma,” kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Dr Surono pada Tempo, Kamis (2/7).
Menurut Surono, yang berbeda pada semburan pekan lalu, peralatan tak mendeteksi unsur SO2. Unsur sulfur atau belerang, ditemukan saat memeriksa semburan yang terjadi 2 tahun lalu di lokasi yang berdekatan. Pada penelitian 2007 atas permintaan Pemda Banten, semburan yang terjadi terdeteksi gas CO2, H2S, SO2, dan CH4.
Penemuan unsur Sulfur pada gas yang menyembur bersama lumpur kala itu, tak bisa dibantah sebagai bukti akibat aktivitas vulkanik. Di lokasi berdekatan, terdapat Gunung Karang, gunung yang masuk klasifikasi Tipe B – bukan gunung api aktif berbahaya – karena sejak tahun 1600 tidak meletus.
Surono mengatakan, kemungkinan unsur sulfur itu berasal dari proses pendinginan magma statik gunung itu. Proses pendinginan magma yang bisa memakan waktu ratusan tahun itu biasanya mengeluarkan gas. Gas itu merembet melewati pori-pori tanah kemudian terperangkap dalam kantung-kantung air di bawah tanah.
Kantung air itu yang jebol disentuh mata bor sehingga muncrat. Kemungkinan ini diperkuat dengan kondisi semburan yang cepat sekali susut. “Pada saat dia terganggu, di bor, dia keluar, namun tekanannya tidak terlalu besar sehingga satu saat dia juga akan berhenti sendiri, kalau volumenya besar agak lama dikit,” kata Surono.
Baca Juga:
Keberadaan gas Metan atau CH4, ada 2 kemungkinan asalnya. Pertama, jelasnya, daerah itu bekas rawa yang tertimbun. Material organik yang ikut tertimbun itu membusuk sehingga memproduksi gas metan. Tapi, lanjutnya, kemungkinan lain berasal dari CO2 hasil proses pendinginan, yang bereaksi dengan air di bawah tekanan tinggi di bawah tanah sehingga mengubahnya menjadi metan.
Surono memastikan, semburan yang terjadi di Serang tidak berpotensi mengulang mimpi buruk semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo karena hanya terhitung 100 meter lebih. Tak sedalam sumber semburan lumpur di Sidoarjo, dekat lokasi pengeboran sumur milik Lapindo Brantas.
Semburan di Serang bukan kali pertama. Serentetan kejadian serupa pernah terjadi. Rata-rata, terjadi akibat pengeboran air artesis dengan kedalaman di atas 100 meter. Kecuali, semburan lumpur di Indramayu karena ledakan seismik aktivitas pengeboran di sana. “Itu dangkal di bawah 10 meter, tapi daerah itu memang daerah gas, orang ngebor di sana untuk cari gas atau minyak,” kata Surono.
Menurut Surono, pada 2007 itu, pihaknya sengaja tak memberikan rekomendasi larangan pengeboran di sana. Alasannya, pengeboran air artesis adalah ranah kewenangan pemerintah daerah. “Itu sudah diserahkan ke daerah, kita tidak mau lagi ngatur-ngatur itu,” katanya.
Toh, pengeboran untuk mencari sumber air dengan ke dalaman di atas 100 meter regulasinya sudah jelas. Pengeboran semacam itu tak sembarangan. Minimal, harus melalui proses perijinan yang menyertakan hasil survey awal untuk memastikan ada tidaknya kandungan air di bawahnya. “Apa pun daerah itu, ngebor air artesis di atas 100 meter lebih harus ada ijin, kalau nggak sumur tetangga bisa kering semua,” katanya.
Dia malah curiga, pengeboran pekan lalu justru tanpa mengindahkan aturan semacam itu. Agar tidak berulang, dia menyarankan pemerintah setempat memberikan sanksi bagi pelakunya supaya peristiwa serupa tidak berulang lagi.
Surono mengatakan, jika peristiwa semburan semacam itu terjadi, justru menjadi peringatan bagi penduduk setempat bahwa hal serupa bakal terulang lagi jika tidak hati-hati. Yang pasti, dia menyarankan untuk mematuhi regulasi yang ada jika urusannya soal pengeboran di atas kedalaman 100 meter. “Yang sudah terjadi pasti akan terjadi lagi kalau tidak hati-hati,” katanya.
AHMAD FIKRI