TEMPO Interaktif, Pittsburgh -Ingatan terakhir Kopral Michael Jernigan tentang kejadian pada suatu hari pada Agustus 2004 itu hanyalah patroli di sebuah jalan di Mahmudiyah, Irak. Selanjutnya yang diingat Jernigan adalah terbangun di sebuah rumah sakit militer di Bethesda, Maryland, Amerika Serikat, enam hari kemudian. Bagian depan kepalanya hancur dan dia tak bisa melihat.
Hari-hari gelap menemani kehidupan Jernigan selanjutnya. "Saya ingin melihat istri saya, yang tak pernah saya pandang sebelumnya. Saya juga ingin tahu bagaimana rupa anak saya. Saya ingin melihat ibu saya kembali," kata Jernigan.
Setelah hampir lima tahun hidup dalam kegelapan, kini Jernigan dapat melihat kembali. Bukan melihat dengan matanya, melainkan dengan lidahnya karena hingga kini kelopak mata kanannya ditutup dengan jahitan, sedangkan mata kirinya hanya berupa celah putih.
Indra perasanya itu kini juga menjadi media untuk membantu Jernigan melihat dunia. Alat bantu penglihatannya, BrainPort, menggunakan sensor yang terpasang pada lidah. Sensor itu memungkinkan Jernigan mengidentifikasi sebuah obyek sekaligus mengetahui bagaimana bentuknya.
"Apa yang saya proses adalah impuls listrik pada lidah saya, dan saya menggunakan bagian otak saya seperti korteks penglihatan, yang selama ini tidak aktif untuk beberapa waktu, untuk memproses informasi itu," kata Jernigan.
Alat yang digunakan Jernigan merupakan satu dari beberapa perangkat yang tengah diteliti oleh Center for Vision Restoration of UPMC dan University of Pittsburgh, Amerika Serikat. "Alat segi empat kecil pipih sebesar satu inci itu diletakkan pengguna pada lidahnya, dan mereka menyebutnya permen loli, karena mereka tidak bisa makan atau berbicara ketika alat itu berada di mulut," kata Gale Pollock, pensiunan jenderal bintang dua di Angkatan Darat Amerika, yang menjadi direktur eksekutif pusat riset itu.
Pollock, yang juga mantan Army Deputy Surgeon General, memperkenalkan Jernigan pada BrainPort beberapa tahun lampau, ketika alat tersebut masih dalam taraf pengembangan awal. Kini Jernigan menggunakannya untuk melaksanakan tugasnya di belakang meja. BrainPort telah membantunya memperbaiki kualitas penglihatannya serta meningkatkan kemandiriannya. "Kami telah mengerjakan BrainPort generasi berikutnya, yang akan membantu saya berjalan di trotoar tanpa menabrak tempat sampah atau semak pendek," katanya.
Istri Jernigan, Leslie, juga amat mensyukuri keberhasilan alat itu. "BrainPort memberi Mike sedikit kemerdekaan, dan bisa melihat segala sesuatu membuat dia merasakan kemerdekaan itu, yang tak ternilai harganya," kata Leslie.
Apa yang kini dinikmati Jernigan merupakan buah pikiran Paul Bach-y-Rita, seorang dokter medis dan insinyur. Dialah yang melahirkan konsep ilmiah yang menjadi cikal bakal BrainPort pada 1960-an. Bach-y-Rita memperkenalkan gagasan substitusi indra, merangsang salah satu indra, semacam indra peraba untuk menggantikan indra lain, semisal indra penglihatan.
"Seorang tunanetra yang melangkah di jalan dengan bantuan tongkat menerapkan substitusi indra," kata Michael Oberdorfer dari program ekstrakurikuler National Eye Institute. "Dia memperoleh feedback ruang dan pendengaran ketika tongkatnya menyentuh obyek."
Bach-y-Rita menekankan gagasan bahwa penglihatan tidak hanya berasal dari mata. Mata menerima informasi visual, mengubahnya menjadi impuls listrik, dan mengirimkannya ke otak untuk diinterpretasikan. Dengan BrainPort, impuls listrik dikirimkan ke otak melalui saraf pada lidah, bukannya saraf optis pada mata.
Pada BrainPort, kamera yang dijepitkan pada kepala berfungsi sebagai "mata" untuk mengumpulkan informasi visual berupa piksel putih, abu-abu, dan hitam. Sebuah komputer menerjemahkan informasi itu menjadi impuls listrik ringan yang dikirimkan ke serangkaian elektroda yang dipasang pada permukaan lidah pengguna. Getaran keras pada lidah merepresentasikan piksel putih, vibrasi sedang mewakili piksel kelabu, dan piksel hitam sama sekali tak menghasilkan getaran.
Belajar menggunakan BrainPort mirip mempelajari bahasa baru, kata Aimee Arnoldussen, seorang pakar saraf sekaligus ilmuwan BrainPort, yang pernah bekerja sama dengan Bach-y-Rita sebelum pria itu meninggal pada 2006. Awalnya, pengguna BrainPort harus terus-menerus menerjemahkan pola impuls pada lidahnya dengan gagasan obyek yang dipindai kamera video pada dahinya. Begitu dia mahir dalam proses ini, proses penerjemahan terjadi secara otomatis.
Aimee menyatakan langkah yang paling kritis dalam proses ini adalah bagaimana otak menyadari impuls itu sebagai representasi lingkungan di sekelilingnya. "Anda belajar mengabaikan yang terjadi pada lidah karena itu bukan informasi terpenting," ujarnya.
Meski BrainPort bukanlah pengganti indra penglihatan, alat bantu itu menambah pengalaman bagi indra lainnya untuk memberi informasi tentang bentuk, ukuran, dan lokasi sebuah obyek kepada penggunanya. Arnoldussen mengatakan, dalam waktu satu jam sebagian besar pengguna dapat menunjukkan bentuk yang berbeda. Setelah beberapa jam, mereka bisa mengidentifikasi obyek di dekatnya dan menghindari benda-benda yang menghalangi gerak mereka.
Cara kerja BrainPort yang amat sederhana itu telah dibuktikan oleh Erik Weihenmayer, pendaki gunung yang buta sejak usia 13 tahun karena menderita cacat genetik retinoschisis. Ketika pertama kali mencoba alat itu untuk pertama kalinya pada lima tahun lalu, Weihenmayer sanggup meraih dan menangkap bola tenis yang menggelinding hanya dalam beberapa menit.
"Saya terkejut lantaran betapa cepatnya otak menangkap apa yang saya rasakan pada lidah saya," ujarnya. "Saya merasa bola itu menggelinding dari belakang lidah saya. Mula-mula kecil dan semakin besar."
Meski hingga saat ini uji coba BrainPort masih dilakukan dalam skala laboratorium, Arnoldussen berharap alat itu bisa segera digunakan oleh penyandang tunanetra dalam kehidupan mereka sehari-hari untuk melakukan tugas harian, seperti membaca tanda lalu lintas dan mengidentifikasi jalan agar tak mudah tersesat.
TJANDRA DEWI | THEPITTSBURGHCHANNEL | WICAB | NIH
Melihat dengan Lidah
Selasa, 7 Juli 2009 13:51 WIB