"Kami ingin mengevaluasi penerapan Standar Nasional Indonesia dalam perencanaan struktur bangunan rumah dan gedung di sana," ujar Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Budi Yuwono tadi malam.
Menurut Budi, dari banyaknya bangunan publik dan rumah yang roboh dalam bencana itu, diduga ada kelalaian dalam penerapan standar nasional itu. Padahal Padang daerah rawan gempa, sehingga seharusnya standar itu diterapkan sebagai syarat untuk bisa memperoleh Izin Membangun Bangunan. "Ini tak cuma di Padang, tapi juga di banyak daerah," kata Budi.
Akibatnya, bukan cuma bangunan lama yang ambles dan roboh, gedung baru pun rebah dengan struktur yang terlihat seperti masih utuh. "Robohnya (jadi) rada aneh," ujarnya.
Yuskar Lase, pakar struktur bangunan tahan gempa dari Universitas Indonesia, mengatakan bangunan publik mestinya tidak roboh akibat gempa berkukatan 7,6 pada skala Richter jika peraturan dan ketentuan dalam SNI 2002 diikuti. "Peraturan yang ada sudah mengantisipasi kekuatan gempa yang jauh lebih besar, yakni 8-8,5 skala Richter," katanya.
Caranya di antaranya menerapkan konsep tiang kolom yang jauh lebih kuat daripada balok-baloknya. Konsep seperti ini membuat gempa besar hanya bisa merusak bangunan, tapi tidak sampai membuatnya roboh. "Konsep ini pulalah yang diadopsi di Jepang pascagempa Kobe 1995 dan juga negara-negara lainnya, seperti Selandia Baru dan Amerika Serikat," kata Yuskar.
Praktisi perencana bangunan yang juga anggota penasihat Gubernur DKI Jakarta di bidang struktur bangunan (publik) itu meyakinkan bahwa konsep dan teknik itu tidak lalu membuat konstruksi bangunan menjadi mahal. Yuskar menghitung, selisih biayanya dengan konstruksi bangunan konvensional cuma 5 persen. "Tapi banyaknya pemerintah daerah yang tidak melakukan diseminasi informasi ini membuat bangunan tahan gempa tidak populer dan tidak disadari," kata dia.
Wuragil