Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 27/P/M.Kominfo/VII/2008 tentang Uji Coba Lapangan Penyelenggaraan Siaran Televisi Digital mengatur uji coba ini, yang digelar sejak Mei tahun lalu. Rencananya, uji coba akan berakhir Desember mendatang. Namun, baru-baru ini Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh meneken aturan baru soal kerangka dasar televisi digital ini.
Aturan baru inilah yang rupanya belum diketahui kedua konsorsium. Karena itu, mereka mengambil sikap menunggu. Direktur KTDI Supeno Lembang mengatakan masih banyak hal berkaitan dengan migrasi siaran analog ke siaran digital ini yang harus diperjelas. Pasalnya, untuk melakukan uji coba, modal terus dikucurkan anggota Konsorsium, yang terdiri atas enam stasiun televisi swasta, yakni ANTV, Metro TV, SCTV, Trans TV, Trans7, dan TV One.
Inilah yang membuat KTDI belum memutuskan langkah selanjutnya. "Kami belum tahu nanti siapa yang jadi penyelenggara multiplexer (pengolah sinyal analog ke digital), model bisnisnya bagaimana, dan mana yang boleh atau tidak," ujar Supeno kepada iTempo di kantornya Rabu lalu.
Konsorsium TVRI dan PT Telekomunikasi setali tiga uang. Kendati mereka boleh berlega hati karena jatah slot untuk lembaga penyiaran publik ini sudah pasti di tangan mereka, model bisnis dalam menyelenggarakan industri digital ini masih jadi pertanyaan Konsorsium.
Direktur Teknik Lembaga Penyiaran Publik TVRI Satya Sudhana mengaku kerepotan menghadapi model bisnis industri digital ini. "Kemarin dengan Telkom agak repot, karena kami punya misi untuk publik, sedangkan Telkom selaku BUMN juga harus mencari untung," ujarnya.
Jika kedua konsorsium memilih menunggu kebijakan pemerintah, sebaliknya, pemerintah malah menunggu kesiapan industri. Direktur Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informatika Bambang Subianto mengakui pihaknya masih menunggu kesiapan industri, sembari menyiapkan aturan detail soal model bisnis, penyelenggara multiplexer, maupun aturan soal televisi berjaringan.
"Kami memang belum membuat aturan soal infrastruktur maupun lembaga program siarannya, karena akan mengubah bisnis mereka. Makanya kami ingin tahu reaksi mereka," ujar Bambang. Ia tetap berpegang pada Peraturan Menteri Nomor 39/PER/M.KOMINFO/10/2009 tentang Kerangka Dasar Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air) untuk mengetahui kesiapan industri siaran. "Kapan mereka siap, tinggal dilaksanakan."
Selain industri siaran serta produsen perangkat pendukung (set top box dan televisi), yang tak kalah penting adalah kesiapan masyarakat menerima migrasi tersebut. Memang, dari hasil survei uji coba diketahui, 60 persen dari 1.900 responden mau menerima teknologi ini. "Bahkan mereka mau beli jika harganya tak lebih dari Rp 300 ribu," katanya. Survei memang baru dilakukan di Jakarta, dan belum di tempat lain. Karena itu, sebelum migrasi teknologi, perlu dilakukan sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat.
Jika pemerintah dan kedua konsorsium masih saling menunggu, tak demikian halnya dengan industri perangkat televisi. Beberapa produsen bahkan sudah mulai memproduksi televisi dengan peranti penerima siaran digital di dalamnya. Sebut saja PT Hartono Istana Teknologi, vendor perangkat elektronik merek Polytron, dan PT LG Electronics Indonesia. Selain memproduksi televisi digital, Polytron bahkan memproduksi set top box. Beberapa waktu lalu, produk mereka sudah ikut diuji coba KTDI.
Manajer Produk PT Hartono Istana Teknologi Eddy Ariawan menyatakan kesiapannya memproduksi set top box maupun televisi penerima siaran digital tersebut. "Kami siap memproduksi secara massal, sampai puluhan ribu (unit)," ujar Eddy. Produk Polytron yang sudah diproduksi sejak tiga bulan lalu itu dilengkapi dua tuner berbeda, yakni untuk siaran analog dan digital. Televisi Polytron "Dignity" ini dirilis dalam ukuran 21 inci dan 29 inci.
Eddy mengklaim respons peminat televisi ini cukup menggembirakan. Ia yakin, jika migrasi jadi dilaksanakan, responsnya bisa lebih baik. "Tinggal tunggu pasar, regulasi bagus, multiplexer-nya juga oke, pemerintah sudah memutuskan migrasi," ujar Eddy.
LG juga meluncurkan televisi penerima siaran digital sejak Juni lalu. Televisi besutan LG ini diluncurkan dalam dua ukuran: 47 dan 55 inci. Kedua seri ini disebut built-in digital TV. Seperti halnya Polytron, LG melengkapi produknya dengan dua tuner penangkap siaran analog dan digital. Sasarannya pun jelas: konsumen pemula jika migrasi ke siaran digital ini jadi dilaksanakan.
Industri set top box sebagai perangkat pendukung juga mulai meramaikan rencana migrasi teknologi siaran ini. Seperti yang dilakukan dua industri lokal, PT Panggung Elektronik dan PT INTI. Panggung Elektronik bahkan sudah menyiapkan set top box bermerek Akari.
Namun, harga set top box sepertinya bakal menjadi kendala di masyarakat. Walaupun pemerintah menargetkan harga perangkat berkisar Rp 220 ribu, prakteknya, harga pabrikannya masih lebih tinggi. Apalagi yang produk impor. Jadi semuanya masih saling menunggu.
DIAN YULIASTUTI