Perburuan dan perdagangan illegal binatang langka itu didorong oleh tingginya permintaan terhadap cula dari sejumlah negara Asia. Laporan itu menyebutkan, perdagangan itu diperburuk oleh semakin canggihnya para pemburu illegal, yang kini menggunakan obat, racun, busur crossbow, dan senapan berkaliber tinggi untuk membunuh badak.
Data baru itu menunjukkan bahwa mayoritas perburuan illegal di Afrika, yang mencapai 95 persen, terjadi di Zimbabwe dan Afrika Selatan. “Kedua negara ini secara bersama-sama membentuk episentrum krisis perburuan illegal yang tak dapat dihentikan di Afrika Selatan,” kata Tom Milliken dari TRAFFIC.
Laporan, yang diajukan kepada Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) sebelum pertemuan Conference of the Parties ke-15 (CoP15) Maret mendatang itu, mendokumentasikan penurunan efektivitas penegakan hukum dan melonjaknya intensitas perburuan illegal di Afrika. Situasi di Zimbabwa amat serius karena jumlah badaknya kini menurun dan hanya tiga persen dari kasus perburuan badak yang dijatuhi hukuman di Zimbabwe.
Meski berbagai tindakan telah diterapka, perburuan dan perdagangan cula badak terus meningkat. “Aksi bersama pada tingkat tinggi amat diperlukan untuk menghentikan krisis global perburuan badak yang merajalela ini,” kata Amanda Nickson, Direktur Program Spesies di WWF International. “Kami meminta negara-negara yang prihatin terhadap masalah ini untuk datang ke COP 15 dengan tindakan spesifik untuk memperlihatkan komitmen mereka menghentikan perburuan illegal dan melindungi badak di alam.”
Selain menyoroti jumlah badak yang rendah dan terus menurun, laporan itu juga mencermati status populasi badak Jawa dan Sumatra di Malaysia, Indonesia dan Vietnam yang tidak pasti. “Negara-negara yang dihuni badak Sumatra dan Jawa harus meningkatkan upaya untuk menaksir status terkini populasi badak mereka, untuk memperkuat upaya penegakan hukum di lapangan serta mencegah alih fungsi lahan di habitat badak, dan memperbaiki manajemen biologis bagi populasi yang ada untuk menjamin peningkatan jumlah badak Jawa dan Sumatra,” kata Dr. Bibhab Kumar Talukdar, kepala IUCN/SSC Asian Rhino Specialist Group.
TJANDRA | SCIENCEDAILY | WWF