Belakangan, setelah perjalanan menguak persawahan dan kebun rakyat, terungkaplah bahwa pipa-pipa itu bermuara di sebuah kompleks pembangkit listrik. Seperti yang sudah terendus dari aromanya, pembangkit itu menghasilkan listrik dengan mengeksploitasi panas yang ada dalam bumi. Sumur, sebagai pangkal dari jaringan pipa-pipa berisi uap air tersebut, dibuat 2 kilometer dari area pembangkit.
Perjalanan pada pertengahan November lalu mengantar Tempo ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Lahendong. Ada tiga pembangkit, Lahendong I, II, dan III, yang terletak di dua desa terpisah di Tomohon Selatan, Tondangow dan Pangolombian. Rencananya Bank Pembangunan Asia akan membantu meminjamkan lagi dana sebesar US$ 30 juta untuk membangun stasiun pembangkit keempat, dengan kapasitas yang sama, yakni 20 megawatt.
"Energi panas bumi tidak mencemari lingkungan dan udara," begitu kata Manajer Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Lahendong I, II, dan III Djonni Kalalo memperkenalkan ekspansi yang akan dilakukan.
Ekspansi, Marthen Ganti Palunan, Kepala Bidang Minyak dan Gas di Dinas Energi Provinsi Sulawesi Utara, menambahkan, harus dilakukan dan masih jauh dari yang diharapkan. Pertama, tentu, karena listrik yang dihasilkan ramah lingkungan. Kedua, melimpahnya sumber energi geotermal itu.
Saat ini, Marthen menjelaskan, baru 3 persen potensi energi panas bumi yang sudah dimanfaatkan. Padahal, "Ada potensi sebesar 1.700 megawatt hanya di Sulawesi," katanya. Khusus di bumi Lahendong, potensi energi panas bumi yang disimpannya setara dengan 313 MW listrik. Angka itu lebih dari cukup untuk menambal kekurangan pasokan listrik dan mengakhiri pemadaman bergilir yang saat ini diderita Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya.
Kepala Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral R. Sukhyar menyatakan posisi Indonesia, yang ikut menguntai Cincin Gunung Api Pasifik, membuat republik ini memang kaya energi panas bumi. Potensinya ditaksir sekitar 28 ribu MW. "Itu berarti 35 persen potensi sumber panas bumi dunia ada di sini (Indonesia)," katanya, "Lokasinya tersebar di 265 lapangan di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan sebagian Kalimantan."
Jika potensi itu bisa dimanfaatkan selama 30 tahun saja, Sukhyar menghitung-hitung, Indonesia bisa menghemat konsumsi minyak bumi sebesar 12 miliar barel khusus untuk mengoperasikan pembangkit listrik. "Emisi gas rumah kaca pun bisa ditekan," katanya merujuk data Badan Energi Internasional pada 2004 yang menyebut Indonesia berada di urutan ke-15 penyumbang emisi karbon di dunia.
Kebakaran hutan memang menyumbang porsi yang sangat besar, tapi itu kasuistik seperti pada 2007. Tapi, umumnya, pembangkit-pembangkit listrik yang digerakkan oleh bahan bakar fosil, minyak bumi, dan batu bara adalah kontributor utama pencemaran di udara melampaui sektor industri dan transportasi.
Data terbaru tahun ini menyebutkan bahwa komposisi penggunaan energi listrik berbahan bakar batu bara di Tanah Air mencapai 48 persen. Nomor dua adalah minyak sebesar 27 persen, disusul gas 21 persen, air 7 persen, dan yang paling buncit, panas bumi, hanya 3 persen.
Krisis listrik yang terjadi belakangan ini semakin mematenkan komposisi tersebut di mana penggunaan energi fosil yang tak terbarukan dan kotor itu meningkat. Pengalaman Wiliam Wibisono, wirausahawan dan pelanggan listrik PT PLN di Manado, membuktikannya. Gara-gara pemadaman bergilir dan pengoperasian generator mandiri, tagihan listriknya membengkak menjadi ratusan juta rupiah tiap bulan--sebuah kondisi yang memaksanya setuju dengan ekspansi panas bumi. "Butuh energi baru yang masif untuk atasi krisis," katanya.
RUDY PRASETYO