TEMPO Interaktif, Bogor - Keberadaan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dapat punah dalam tempo 10 tahun lagi atau lebih cepat bila program pengembangbiakan di penangkaran gagal dan kehidupan di habitat aslinya tidak mendukung.
"Kami tidak berharap program ini gagal, tapi bila dibiarkan kepunahan itu niscaya terjadi," kata Widodo S. Ramono, Ketua Global Management & Propagation Board (GMPB), lembaga yang mengelola jaringan penangkaran badak Sumatera di seluruh dunia, dalam konferensi pers mengenai hasil pertemuan GMPB di Hotel Santika, Bogor, hari ini.
Populasi badak jenis ini memang sudah kritis. "Dalam 20 tahun terakhir, jumlah populasinya di seluruh dunia turun 60 persen," kata Susie Ellis, PhD, Direktur Eksekutif International Rhino Foundation yang berbasis di Virginia, Amerika Serikat.
Saat ini ada hanya ada 9 badak yang hidup di beberapa penangkaran. Lima di antaranya tinggal di penangkaran Suaka Badak Sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Sisanya diperkirakan kurang dari 200 ekor yang hidup di hutan-hutan Sumatera dan Sabah, Malaysia.
Pertemuan GMPB ini digelar setelah Emi, badak Sumatera yang dilahirkan di Kebun Binatang Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat, meninggal pada 5 September 2009 dalam usia 21 tahun. Dia meninggal karena gagal hati akibat penyakit hemokromatosis, penumpukan deposit besi pada jaringan tubuh. Emi tercatat sebagai kasus pertama kematian badak Sumatera karena hemokromatosis. Badak betina ini telah melahirkan Andalas pada 2001, Suci pada 2004 dan Harapan pada 2007. Andalas menjadi badak Sumatera pertama di dunia yang lahir di penangkaran sejak abad ke-19.
Kematian Emi menjadi pukulan keras bagi program pembiakan badak di penangkaran. Dalam pertemuan dua hari di Bogor itu, GMPB mencoba mengurai kasus kematian tersebut dan berbagai penyakit lain yang mengancam spesies ini serta situasi terakhir dari lingkungan alam di habitatnya di Sumatera. Lembaga-lembaga yang berada dalam kelompok ini, termasuk Departemen Kehutanan, Indonesia Rhino Foundation, dan Asian Rhino Specialist Group, sepakat untuk bekerja di dua jalur, yakni melindungi spesies yang hidup di alam liar dan mengembangbiakkan yang hidup di penangkaran.
"Dulu banyak pihak yang menganggap pembiakan di habitat aslinya lebih baik daripada di penangkaran. Namun, pelajaran yang kami dapatkan menunjukkan bahwa keduanya harus berjalan seimbang, karena bila pembiakan di penangkaran dapat berhasil lebih baik, mengapa tidak program itu digiatkan," kata Widodo.
Widodo juga meminta dukungan pemerintah dan lembaga lain, termasuk swasta, dalam mendukung program perlindungan dan pembiakan hewan yang paling dilindungi di dunia ini. Lindner Center for Conservation and Research of Endangered Wildlife (CREW) dan tim Kebun Binatang Cincinnati pimpinan Dr Terri Roth selama bertahun-tahun telah mempelajari dan melakukan percobaan pembiakan badak. Kelahiran tiga anak Emi adalah salah satu keberhasilan penelitan ini.
"Kami berharap kelanjutan program ini akan dapat mencapai total 17 badak di seluruh penangkaran di dunia dalam 10 tahun mendatang," kata Ellis. "Dengan demikian, sedikit demi sedikit populasi badak jenis akan bertambah."
KURNIAWAN