TEMPO Interaktif, Philadephia -Seorang perempuan yang memiliki pendidikan hingga ke perguruan tinggi memang lebih banyak yang memilih tak menikah daripada perempuan yang kurang berpendidikan, tetapi begitu menikah perempuan berpendidikan tinggi kemungkinan besar akan tetap menikah, kata dua pakar ekonomi.
Temuan itu, yang dilandasi sebuah review terhadap riset mulai 1950 hingga 2008, juga mengungkap perubahan tentang siapa yang menikah dan mempunyai anak serta alasan mereka menikah. Di masa lalu, perempuan berpendidikan lebih tinggi cenderung tak menikah dan memiliki anak, tetapi perbedaan pernikahan itu mulai terkikis ketika tingkat pernikahan dan menikah kembali pada perempuan berpendidikan perguruan tinggi naik bila dibandingkan perempuan berpendidikan lebih rendah.
Kini, perempuan berpendidikan perguruan tinggi lebih lambat menikah, mempunyai anak lebih sedikit, dan tidak memandang pernikahan sebai “keamanan finansial.” Mereka juga jauh lebih bahagia dalam perkawinan dan kemungkinan bercerai lebih rendah.
Betsey Stevenson dan Adam Isen, keduanya dari Wharton School di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, menyiapkan review tersebut untuk Council on Contemporary Families, sebuah organisasi nirlaba yang menyediakan informasi keluarga Amerika kepada publik. “Pada usia 40, perempuan kulit putih berpendidikan tinggi kemungkinan besar berstatus menikah dibandingkan perempuan lain, yang sebagian besar telah bercerai,” tulis Stevenson dalam laporannya.
Riset itu juga mengungkap bahwa perempuan berpendidikan tinggi yang belum menikah pada usia 40 tahun berpeluang dua kali lipat untuk menikah dalam 10 tahun berikutnya daripada perempuan 40 tahun lulusan SMU. Perempuan kulit hitam lulusan perguruan tinggi lebih banyak yang menikah daripada perempuan kulit hitam berpendidikan rendah.
Pada usia 40, 86 persen perempuan kulit putih nerpendidikan perguruan tinggi telah menikah, dibandingkan 90 persen perempuan lulusan pendidikan tinggi, 88 persen perempuan lulusan SMU dan 81 persen perempuan yang tak menyelesaikan pendidikan SMU-nya.
Pada 1950, hanya 74 persen perempuan kulit putih yang pernah menuntut ilmu di perguruan tinggi yang menikah pada usia 40, dibandingkan dengan 92 persen perempuan yang menamatkan pendidikan tinggi, 90 90 persen lulusan sekolah menengah atas dan 93 persen perempuan yang tak menematkan pendidikan SMU.
Kedua pakar ekonomi itu menemukan bahwa rata-rata pernikahan naik untuk semua perempuan antara 1950 dan 1960, namun turun bagi wanita tanpa titel sarjana pada 1960-an. Angka rata-rata pernikahan untuk perempuan berpendidikan perguruan tinggi terus meningkat hingga 1980, menutup perbedaan pendidikan dalam pernikahan.
Pada 1980-an, angka rata-rata pernikahan seluruh perempuan mulai anjlok, meski perempuan berpendidikan perguruan tinggi adalah satu-satunya kelompok perempuan yang angka rata-rata pernikahannya di abad 21 lebih tinggi daripada angka pada 1950-an. “Usia rata-rata pernikahan pertama juga meningkat,” kataStevenson dalam laporannya. “Di masa lalu, seorang perempuan yang belum menikah pada usia 35 atau 40 kemungkinan tak akan pernah menikah."
Hari ini, kata Stevenson, 15 persen dari seluruh perempuan yang belum menikah pada usia 40 akan meninggalkan masa lajangnya dalam 10 tahun mendatang. Angka itu meningkat 20 persen bagi perempuan berpendidikan perguruan tinggi.
TJANDRA | LIVESCIENCE