Ke-24 operator seluler itu membentuk Wholesale Applications Community, sebuah komunitas pengembang aplikasi yang lebih sederhana untuk melawan toko aplikasi App Store dari Apple dan Android Market dari Google. Gerakan itu dimotori tiga perusahaan ponsel, yaitu LG Electronics, Samsung, dan Sony-Ericsson.
Operator yang bergabung di sana di antaranya AT&T, Bharti Airtel, China Mobile, MTN Group, NTT DoCoMo, Orange, Orascom Telecom,
Telefonica, dan Vodafone. Bila digabungkan, ke-24 operator itu mencakup 3 miliar pelanggan ponsel di bawahnya.
Dengan kerja sama tersebut, operator-operator dapat menyatukan komunitas pengembang aplikasi mereka. Hasil karya para pengembang itu pun bisa langsung didistribusikan ke satu tempat, ketimbang mengikuti serangkaian proses penerimaan seperti yang diterapkan App Store maupun Android Market.
"Kombinasi ini tujuannya adalah memproduksi entry yang tunggal dan harmonis sehingga lebih mudah bagi para pengembang untuk bergabung," demikian pernyataan GSM Association (GSMA) di sela-sela kongres di Barcelona, Spanyol, kemarin.
"GSMA mendukung penuh Wholesale Applications Community, yang akan menciptakan sebuah ekosistem baru dan terbuka dalam penciptaan aplikasi yang bisa digunakan tak terbatas pada perangkat, sistem operasi, dan operatornya," kata Rob Conway, CEO dan anggota Dewan GSMA.
Pendekatan ini, kata Conway, sejalan dengan prinsip GSMA dan berbagai pekerjaan yang sudah dilakukan oleh GSMA pada jaringan API terbuka (OneAPI). "Ini juga berita baik bagi industri dan mengkatalisasi pengembangan aplikasi inovatif lintas perangkat dan operator," katanya.
Adapun Jonathan Arber, analis senior di IDC, mengatakan saat ini pengembangan aplikasi bergerak menghadapi fragmentasi tinggi berkaitan dengan teknologi platform dan operator. "Pengembang menginginkan pasar yang terbesar sekaligus efisien dan mudah. Wholesale Applications Community akan memenuhi kriteria itu," katanya.
Aliansi itu berencana menggunakan kebutuhan standar JIL dan OMTP BONDI, lalu menciptakan standar yang sama dalam 12 bulan ke depan. Standar itu tidak akan terbatas menurut tipe ponsel dan sistem operasinya. Dengan begitu, ia akan lebih sederhana ketimbang App Store dan Android Market, yang terbatas.
Keberhasilan App Store di pasar aplikasi bergerak memang menggiurkan. App Store telah meraup keuntungan dari lebih dari 3 miliar pengunduhan aplikasi untuk iPhone dan iPod Touch. Di toko itu terdapat lebih dari 100 ribu aplikasi.
Tak mengherankan, selain vendor ponsel, seperti Research in Motion dan Nokia (termasuk pula Google dengan Androidnya), operator pun ingin berbagi keuntungan di pasar aplikasi. Tercatat operator yang sudah memiliki toko aplikasinya sendiri antara lain Orange, Verizon, dan Vodafone. Tapi tingkat kesenjangan antara App Store dan yang bukan App Store sangat tinggi.
Masalahnya, mampukah komunitas baru itu nantinya berjalan sukses dan membuat fragmentasi pasar tak lagi seperti saat ini? Inilah yang diragukan, terutama menurut analisis dari CCS Insight. Penggabungan itu akan terbentur pada urusan pembentukan standar.
Selama ini operator-operator terbelah dalam hal itu. Dalam urusan standardisasi, saat ini ada dua standar yang dipakai, yaitu JIL dan BONDI. JIL adalah Joint Innovation Lab, yang diciptakan oleh sekelompok operator, seperti Vodafone, China Mobile, Softbank, dan Verizon Wireless, yang juga didukung oleh pabrik ponsel, seperti LG Electronics, Research in Motion, Samsung Electronics, dan Sharp.
Sedangkan BONDI adalah standar terbuka yang diciptakan oleh forum Open Mobile Terminal Platform (OMTP). Forum ini diikuti beberapa perusahaan ponsel, seperti Motorola, Nokia, dan Sony-Ericsson. Namun perusahaan yang mendukung JIL, seperti LG dan Samsung, ternyata juga mendukungnya. CCS Insight menilai ada inkonsistensi di sana.
Meski begitu, kehadiran kubu 24 operator ini setidaknya akan membuat Apple mesti waspada. Bak pepatah bersatu kita teguh, Apple akan mendapat lawan yang jauh lebih tangguh.
DEDDY SINAGA | BERBAGAI SUMBER