TEMPO Interaktif, Jakarta - Diskusi di milis rimbawan interaktif pada Februari lalu ini ramai dengan komentar soal Rancangan Peraturan Menteri Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah, yang akan memasukkan perkebunan kelapa sawit sebagai wilayah hutan. "Dalam waktu dekat, ekosistem hutan kita akan bertambah lagi dengan ditemukannya ekosistem hutan sawit," tulis seorang anggota milis dengan nada sinis.
Anggota lain yang berprofesi sebagai dosen juga tidak ketinggalan ikut berkomentar. "Para dosen se-Indonesia perlu mengubah silabus mata kuliah dasar dan lanjutan yang berkaitan dengan ilmu kehutanan serta merevisi buku ajar, he-he," katanya. Sebagian besar anggota milis itu menyayangkan rancangan peraturan menteri tersebut yang dinilai sebagai tragedi.
Pada saat yang bersamaan, nun jauh di Brussels, dokumen milik Komite Eksekutif Komisi Eropa bocor ke publik. Dokumen itu menggambarkan rencana Komisi Eropa dan beberapa negara anggota Uni Eropa mendefinisikan kembali perkebunan kelapa sawit sebagai "hutan". Menurut mereka, perubahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit bukan pelanggaran. Komisi ini menawarkan bimbingan kepada anggota untuk menggunakan biofuel yang telah diklasifikasikan dari perkebunan sawit.
Beberapa hari kemudian European Commissions's Science for Environment Policy melansir hasil penelitian pada News Alert dengan judul "Harga Karbon Tidak Cukup Menyelamatkan Hutan Tropis dari Deforestasi". Meletakkan harga pada karbon ternyata tak mungkin mencegah hutan ditebang untuk perkebunan kelapa sawit. Harga karbon yang lebih tinggi malah memacu peningkatan permintaan untuk biofuel, sebagai alternatif bahan bakar fosil yang mahal. Pada gilirannya, meningkatkan harga biofuel dan hutan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Pada saat ini, PBB mendefinisikan hutan sebagai lahan di atas 500 meter persegi dengan penutup kanopi seluas 10 persen, di mana ada pohon tumbuh dengan ketinggian 2 meter. Definisi tersebut pada kenyataannya gagal mengatasi konversi hutan alami untuk industri perkebunan monokultur, seperti kelapa sawit.
Dokumen Komisi Eropa itu berpendapat, karena perkebunan kelapa sawit cukup tinggi dan cukup teduh, mereka dianggap sebagai hutan. "Wilayah hutan didefinisikan sebagai daerah di mana pohon telah mencapai atau dapat menjangkau, setidaknya ketinggian 5 meter, membuat mahkota penutup lebih dari 30 persen," tulis dokumen itu. Wilayah ini, dia menambahkan, meliputi hutan, perkebunan, dan hutan pohon lainnya, seperti perkebunan kelapa sawit.
Keinginan memasukkan perkebunan kelapa sawit sebagai hutan jelas bias ekonomi. Di bawah EU's Renewable Energy Directive, 10 persen dari semua bahan bakar angkutan kendaraan bermotor harus berasal dari "energi terbarukan" pada 2020. Ketentuan yang dibuat pada 2008 ini mendorong ekspansi besar-besaran di bidang perkebunan kelapa sawit untuk biofuel di Malaysia, Indonesia, dan sejumlah negara produsen lainnya. NGO melakukan protes terhadap aturan tersebut karena berakibat pada hancurnya hutan dan meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca.
Bias yang sama juga terjadi di Tanah Air. Kabarnya, peraturan ini digodok di Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah. Mereka merujuk pada definisi Food and Agricultural Organization (FAO). Badan PBB urusan pangan dan pertanian ini menyatakan bahwa kebun tetap merupakan kawasan hutan. Malaysia lebih dulu menggunakan definisi FAO ini. "Buat kehutanan, akan ada kenaikan investasi. Namun kalau komoditas dicatat oleh Badan Pusat Statistik masuk Pertanian kan tidak masalah," kata Hadi Daryanto, Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
Masuknya perkebunan kelapa sawit ke hutan, kata Hadi pada pers, akan ada mozaik, antara lain 70 persen berupa tanaman pokok, 25 persen tanaman kehidupan, dan 5 persen tanaman pangan. Dengan mozaik itu, akan ada kawasan lindung yang ditujukan untuk pelestarian dan perlindungan satwa, sehingga wawasan lingkungan akan lebih kuat. Menurut dia, ketentuan ini diberlakukan untuk investasi kelapa sawit yang baru dan kepada regenerasi dari investasi yang sudah jalan.
Penjelasan senada diungkapkan oleh Kepala Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah Tachrir Fathoni. "Hal ini untuk mengantisipasi pelaksanaan skema REDD," katanya. Menurut dia, Malaysia telah memasukkan perkebunan kelapa sawit ke dalam sektor hutan. Negeri jiran itu, katanya, dapat menuai insentif keuangan UNFCCC dari perdagangan karbon. Insentif keuangan yaitu penebangan hutan dan menggantinya dengan kelapa sawit monokultur.
Mashyud, Kepala Pusat Informasi Kehutanan, menolak jika pihaknya disebut mengubah definisi hutan. Menurut dia, rencana itu merupakan masalah dan sudah dibahas sejak 1999. Ketika itu, ada surat keputusan tentang hutan campuran. Saat ini, katanya, dijajaki dan didalami kembali kemungkinan-kemungkinan itu. Namun hutan campuran, dia menambahkan, bukan eksplisit untuk perkebunan sawit.
Aliansi Masyarakat Peduli Hutan (Ampuh) menolak rencana Kementerian Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah. Aliansi ini beranggotakan Yayasan Setara, CAPPA, YLBHI, WPPJ, dan Perkumpulan Hijau. Mereka menilai ini skenario pragmatis dari upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. "Skenario ini untuk memudahkan negara-negara Eropa membayar dosanya atas pencemaran iklim dunia tanpa mau meninggalkan pola rakus konsumsi mereka atas energi," tulis Ampuh. Penolakan senada disuarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria, Center for Orangutan Protection, dan organisasi lainnya.
Bintang C.H. Simangunsong, XXX, menyarankan pemerintah mengarahkan perkebunan kepala sawit pada hutan yang telah terdegradasi parah. "Selain itu, jangan (menanam) di lahan gambut yang emisi karbonnya besar," kata dosen di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Luas lahan kritis saat ini ada 100 juta hektare, di mana setengahnya berada di kawasan hutan. Luas hutan tanaman industri ada 10 juta hektare, namun yang baru ditanami cuma 4 juta hektare.
Menurut Bintang, lahan kritis dan telantar itulah yang seharusnya menjadi prioritas untuk perkebunan kelapa sawit. Di sisi lain, kata Bintang, biofuel menjadi persoalan di Eropa. Bocornya dokumen petinggi Komisi Eropa makin merunyamkan masalah itu dan menjadi bahan kecaman lembaga swadaya masyarakat. Mereka menuduh ada "tangan-tangan tak terlihat" yang mempengaruhi eksekutif komisi itu. Tidak tertutup kemungkinan "tangan" yang sama juga bermain di Tanah Air.
UNTUNG WIDYANTO