TEMPO Interaktif, Jakarta - Dokumen Komite Eksekutif Komisi Eropa mengagetkan aktivis lingkungan hidup. Maklum, selain bahasanya penuh jargon, kesimpulannya membangkitkan amarah yang pernah muncul pada 2008. Memang saat itu protes mengalir seiring dengan banjirnya impor kelapa sawit ke daratan Eropa.
Hasil pohon yang sebagian besar berasal dari Indonesia dan Malaysia itu digunakan untuk bahan baku industri biofuel bagi kendaraan bermotor dan pabrik. Para aktivis mengecam kebijakan itu karena menilai perkebunan kelapa sawit di dua negara ini merusak lingkungan dan melanggar hak asasi masyarakat di sekitar hutan. Tapi pengusaha kelapa sawit membantah tuduhan itu.
Rencana Komisi Eropa yang bocor ke publik memicu kembali amarah para aktivis lingkungan. Dokumen itu menyebutkan bahwa perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit bukanlah suatu pelanggaran. Lembaga itu menyiapkan bimbingan bagi negara-negara Eropa yang akan mengimpor tanaman ini. "Kelapa sawit adalah salah satu contoh sangat buruk dari masalah biofuel. Semangat perdebatan tahun 2008 adalah menghentikan hal semacam itu," kata Adrian Bebb dari Friends of the Earth Eropa.
Adrian menuduh industri minyak kelapa sawit telah melakukan pekerjaan yang sangat bagus untuk melobi Komisi Eropa dan negara-negara Eropa. The Malaysian Palm Oil selama dua tahun terakhir memang mempekerjakan GPlus, pelobi internasional, untuk menekan kasus mereka, baik di Brussels maupun di ibu kota negara-negara Uni Eropa. Lobi juga dilakukan terhadap sejumlah menteri di Eropa untuk bertemu dengan eksekutif perusahaan kelapa sawit.
Kantor The Malaysian Palm Oil di Brussels menolak berkomentar mengenai masalah ini. Komisi Eropa juga tidak mengomentari dokumen yang bocor itu. Namun juru bicara komisi ini mengatakan bahwa rancangan itu akan diadopsi oleh perguruan tinggi dan kepala komisi energi yang baru.
Rully Prayoga, juru kampanye iklim Asia Timur Oxfam International, juga menengarai permainan para broker di Eropa dan Indonesia yang mempengaruhi kebijakan pemerintah. "Mereka memberikan janji-janji surga untuk program forest estate," katanya. Dia mengutip sejumlah penelitian bahwa industri kelapa sawit semakin meningkatkan emisi gas-gas rumah kaca.
Untuk program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, APBN Indonesia mengalokasikan dana sekitar Rp 8,3 triliun. Menurut Rully, ketimbang meneruskan industri kelapa sawit, lebih baik Indonesia mengembangkan industri energi surya, angin, dan transportasi yang ramah lingkungan. "Mendingan dana triliunan rupiah untuk program Millennium Development Goals," katanya.
UNTUNG W