TEMPO Interaktif, Jakarta -Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Setara bertajuk "Analisis Rantai Produksi Bioetanol dari Aren dan Nipah". Lembaga ini melihat potensi nipah dan aren sebagai tanaman sumber etanol untuk produksi gula serta biofuel. Mereka menganalisis rantai manfaat untuk menggambarkan beragam aktivitas yang diperlukan guna memproduksi biofuel dari nipah atau aren di Kumai, Kalimantan Tengah, dan Malingping, Banten.
Dari aspek potensi, nipah dapat diolah menjadi gula, cuka dan bioetanol, serta minyak kelapa. Di Malingping, aren diolah menjadi gula, bioetanol, dan bahan lainnya. Untuk penanaman, nipah berada di area seluas 10 ribu hektare dan untuk aren cuma 254 hektare.
Nipah dapat dipanen sepanjang tahun dengan tidak ada limbah. Jumlah panen aren sebanyak 10 ribu liter tiap hektare. Penghasilan yang diterima dari budidaya nipah adalah Rp 39 ribu per hari untuk rumah tangga miskin. Sedangkan untuk aren sebesar Rp 26 ribu per hari per setiap rumah rumah tangga.
Peluang pasar bagi nipah sangat besar karena didukung petani, NGO, pemerintah, dunia usaha, dan kelompok lainnya. Apalagi 99 persen gula dipasok ke Jawa, dan pasar juga besar untuk gula cokelat (gula Jawa). Pemerintah lokal di Banten juga mendukung program bioetanol di wilayahnya.
Nipah membutuhkan banyak tenaga kerja dibanding memproduksi gula. Mobilisasi mesin untuk membajak tanah dan memperbaiki irigasi relatif sulit. Pertumbuhan tanaman juga terancam nyamuk dan buaya. Aspek kelemahan lain adalah etanol dapat dijadikan sebagai bahan peledak, sehingga membutuhkan pengamanan.
Isu konservasi bahwa wilayah Malingping bakal jadi bagian taman nasional menjadi salah satu faktor penghambat. Faktor lainnya adalah isu kepemilikan lahan, pencurian, larangan agama mengkonsumsi alkohol, dampaknya yang belum diketahui, serta konflik tanah antara warga miskin dan pemerintah lokal.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Setara mengusulkan adanya sosialisasi, sehingga produk nipah menjadi penambah pendapatan keluarga. Selain itu, perlu dilakukan pendekatan dengan pengelola taman nasional dan dinas kehutanan untuk mengatur zona wilayah. Usul lain adalah perlunya strategi untuk memprioritaskan antara gula dan alkohol. Selain itu, dibutuhkan rencana bisnis yang menggambarkan skenario produksi, modal, dan strategi pemasaran. Usul terakhir adalah dibutuhkannya komitmen modal dari para pemangku kepentingan.
Proyek teknologi untuk rakyat miskin tak cuma bagi petani, melainkan juga para nelayan. Sebagai contoh, FishBase Information and Research Group (FIN) dan The World Fish Center (WFC)-Cabang Filipina menjadi gudang data bagi para nelayan. Mereka mengajak nelayan memanfaatkan telepon seluler untuk mengirim data dan memanfaatkannya.
Lembaga ini memang ingin membantu nelayan mendapatkan informasi tentang ikan di perairan Pulau Verde, San Juan, Provinsi Batangas. Melalui ponsel, para nelayan dapat mengetahui nama-nama ikan dan gambarnya berdasarkan tiga bahasa daerah, yakni Tagalog, Cebuana, serta Ilokano.
Dengan gadget itu, mereka juga dapat menyampaikan informasi tentang ikan yang ditangkap, termasuk lokasi tangkapannya. Sasaran lain FishBase adalah memperbaiki dan meningkatkan content terhadap spesies ikan yang ditangkap nelayan. Saat ini ada 3.000 jenis ikan yang dilaporkan berada di perairan Filipina, di mana 400 di antaranya berada di perairan Pulau Verde. Melalui ponsel, program ini memiliki sasaran agar kesadaran pelestarian ikan pada para nelayan meningkat.
Program ini menjadi peluang dan tantangan tersendiri. Hasilnya sudah terlihat, karena para nelayan dapat mengidentifikasi ikan secara cepat, termasuk ukurannya, sehingga mereka tidak menangkap ikan yang berukuran kecil atau jenis yang dilindungi. Namun yang menjadi tantangan adalah lamanya mengirim gambar dan mahalnya biaya akses Internet.
UNTUNG WIDIYANTO